Zakat atau Aqiqah duluan?
Senin, 01/03/2010 16:07 WIB | email | print | share
dimuat di situs http://eramuslim.com/konsultasi/zakat/zakat-atau-aqiqah-duluan.htm
Assamualaikum wr,.Ustadz...ada beberapa hal yang mau saya pertanyakan, mungkin di forum ini kurang tepat karena saya bingung harus dibagian saya konsultasi yang mana, ada beberapa pertanyaan antara lain:
1. Bagaimana hukumnya seseorang yang belum melaksanakan aqiqah hingga usia nya saat ini sudah hampir 29th?
2. seandainya ada niat untuk melaksanakan aqiqah di usia tersebut bagaimana tata cara pelaksanaannya?
3. untuk pembelian 2 ekor kambing atau melaksanakan aqiqah, apakah boleh dari orang yang akan melaksanakan aqiqah tersebut?
4. Mana yang lebih diutamakan Zakat, Qurban dan Aqiqah?
sebelumnya saya ucapkan terimakasih,..ustadz,..
Wassalamualaikum Wr..
Yds
Jawaban
Wa’alaikum salam wr. wb. Terima kasih atas pertanyaannya Bapak Yds yang baik.
1. Terdapat perbedaan pendapat ulama dalam hukum aqiqah, Ibnu Hazm menjelaskan aqiqah hukumnya wajib. Pendapat jumhur ulama adalah aqiqah itu hukumnya sunnah. Madzhab Hanafiah mengatakan tidak wajib dan tidak pula sunnah, hukumnya mubah.
Dengan demikian, kecendrungan ulama umumnya berpegang kepada pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa aqiqah itu sunnah muakkad (sunnah yang sangat dianjurkan) dan pelaksanaannya paling utama adalah hari ketujuh dari hari kelahirannya. Bila belum mampu hari ketujuh bisa hari keempat belas, dan hari ke dua puluh satu. Bahkan menurut sebagian besar ulama, aqiqah sangat dianjurkan bagi kedua orang tua yang mempunyai tanggungan belanja atas anak itu dan orang tua itu mampu mengaqiqahkanya. Jika orang tua tidak mampu maka tidak apa-apa baginya meninggalkan aqiqah. Rasulullah saw: “Barangsiapa yang ingin menyembelih (hewan ‘aqiqah) untuk anaknya maka lakukanlah, dan barang siapa yang tidak ingin (tidak mampu) maka tinggalkanlah.” (HR. Abu Dawud)
Adapun pendapat tentang melaksanakan aqiqah sebelum hari ketujuh atau sesudahnya sampai usia dewasa (29 tahun). Sebagian ulama membolehkan melaksanakannya sebelum hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.35. Sebagian lagi berpendapat boleh dilaksanakan setelah hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Hazm dalam kitabnya “al-Muhalla” 7/527. senada dengan ini sebagian ulama mengatakan : “Seseorang yang tidak diaqiqahi pada masa kecilnya maka boleh melakukannya sendiri ketika sudah dewasa”.
Lebih jelas, Ibnu Rusyd juga dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid (jilid I:139) menjelaskan sebagian ulama membolehkan aqiqah ditunaikan sendiri ketika sudah dewasa sebab masa kecilnya seseorang tidak diaqiqahi orang tuanya karena ketidak-mampuan ekonomi. Hal ini sesuai dengan hadits dari Anas yang berbunyi : "Rasulullah mengaqiqahi dirinya sendiri setelah beliau diangkat sebagai nabi."
2 dan 3. Banyak orang Islam yang belum sempat diaqiqahkan oleh orangtuanya ketika dia lahir. Itu bisa jadi karena ketidaktahuan atau bisa pula ketidakmampuan orangtuanya. Berdasarkan penjelasan no, 1 jelas bahwa hukum beraqiqah melaksanakannya sendiri menurut jumhur ulama diperbolehkan sebagaimana Rasulullah sendiri mengaqiqah kan dirinya sendiri setelah hijrah kurang lebih pada usia 40 tahun.
Adapun tata cara pelaksanaan aqiqah dapat dicermati, Madzhab Syafi’i dan Hambali menganjurkan menyembelih dua ekor kambing bila anak yang lahir laki-laki, dan seekor bila perempuan. Sebagaimana Rasulullah bersabda : “Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing dan untuk perempuan satu kambing.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)
Aqiqah adalah hewan yang disembelih untuk anak. Asal katanya al ‘aqqu yang berarti belah dan potong. Karena hewan tersebut dibelah dan dipotong kerongkongannya. Atau ‘aqiqah juga berarti sebuah nama rambut yang tumbuh di atas kepala bayi yang tumbuh saat di dalam perut ibunya. (Subulus Salam juz IV, hal 407)
Berdasarkan penjelasan tersebut, berarti aqiqah sangat dianjurkan pelaksanaannya pada hari ketujuh dari kelahiran bayi dan saat mencukur rambut. Dari Anas r.a. beliau berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Anak itu di aqiqahkan pada hari ketujuh dari kelahirannya….” (HR. Ibnu Hibban).
Adapun pendistribusian daging aqiqah disunnahkan dimasak terlebih dahulu daging sembelihannya dan tidak memberikannya dalam keadaan mentah. Berbeda dengan qurban dagingnya diberikan dalam keadaan mentah. Dan yang beraqiqah boleh memakan sepertiga dari daging aqiqah itu. Tetapi apabila aqiqah ini dinadzarkan, maka hukumnya wajib. Dan daging aqiqah nadzar ini harus dibagikan seluruhnya dan yang beraqiqah tidak boleh makan dagingnya sama sekali.
4. Sebelum menjawab pertanyaan Bapak Yds, kami jelaskan terlebih dahulu pengertian zakat, qurban dan Aqiqah. Zakat secara bahasa (lughat), berarti : tumbuh; berkembang dan berkah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah : 103). Menurut terminologi zakat berarti hak yang wajib pada harta tertentu, untuk orang-orang tertentu, dikeluarkan pada masa tertentu, untuk mendapatkan keridhaan Allah, membersihkan diri, harta serta masyarakat.
Definisi Qurban menurut bahasa berasal dari kata bahasa Arab : “ Qaraba ”, “ yaqrabu ”, Qurban wa qurbanan wa qirbanan ” yang artinya dekat. Menurut istilah, qurban berarti mendekatkan diri kepada Allah s.w.t., dengan mengerjakan sebagian perintah-Nya. Qurban dalam pengertian kita sehari-hari sebenarnya diambil dari kata udhhiyah yakni bentuk jama’ dari kata ”dhahiyyah” yaitu sembelihan pada waktu dhuha tanggal 10 sampai dengan 13 Dzulhijjah. Dari sinilah muncul istilah ”Idul Adha”. Dengan demikian yang dimaksud dengan Qurban atau udhhiyah adalah penyembelihan hewan dengan tujuan beribadah (taqarrub) kepada Allah pada hari raya Idul Adha dan tiga hari Tasyriq , yaitu tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Waktu Qurban Hewan kurban disembelih setelah selesai shalat Ied.
Sedangkan aqiqah berasal dari kata ‘Aqq yang berarti memutus/memotong. Dinamakan demikian karena hewan disembelih atau lehernya dipotong. Adapun makna aqiqah secara terminologi adalah penyembelihan hewan (domba) untuk menebus bayi yang dilahirkan pada hari ketujuh dari kelahiran, sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT atas dikaruniakannya anak, baik laki-laki maupun perempuan.
Adapun dari segi hukum, zakat hukumnya wajib sedangkan qurban dan aqiqah adalah sunnah. Semuanya adalah amalan ibadah yang besar pahalanya saat kita menunaikannya. Jika Bapak memiliki harta yang lebih bahkan cukup nishab, ulama sangat menganjurkan untuk menunaikan yang wajib terlebih dahulu yaitu zakat. Jika ada kelebihan harta lagi maka sangat dianjurkan menunaikan aqiqah dan qurban.
Al-hasil, berdasarkan penjelasan tersebut hukum mengaqiqahkan untuk diri sendiri menurut ulama diperbolehkan. Dan diantara keutamaan ibadah hendaknya kita melaksanakan ibadah wajib (zakat) terlebih dahulu baru kemudian diikuti ibadah sunnah (qurban/aqiqah).
Demikian semoga dapat dipahami. Amin. Waallahu A’lam.
Muhammad Zen, MA
+ komentar + 2 komentar
Ass Wr wb
mohon maaf saya posting disini, sebab saya tdk tau harus kemana.
saya mau bertanya, bagaimana hukumnya jika saya blm membayarkan sejumlah uang untuk zakat rambut yang di cukur saat akikah?
dikarenakan rambut anak saya saat lahir lebat sekali sehingga jml yg harus di zakatkan pun menjadi besar, padahal keadaan ekonomi saya sat ini sedang tidak memungkinkan untuk membayar uang sebesar itu. Mohon pencerahannya
Terima kasih
Wass
Ws. Wr. wb.
Salam kenal Ibu Anggie...
Menurut jumhur ulama Hukum aqiqah termasuk mencukur rambut dan disedekahkan adalah sunnah (muakkad) sesuai pendapat Imam Malik, penduduk Madinah, Imam Syafi'i dan sahabat-sahabatnya, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan kebanyakan ulama ahli fiqih (fuqaha).
Sedangkan Abu Hanifah menjelaskan hukumnya wajib.
Lebih tegas Ibnu Rusyd dalam Bidayatul mujtahid menjelaskan hukum aqiqah adalah sunnah, termasuk mencukur rambut dan ditimbang untuk disedekahkan bukan dizakatkan.
Sebab berbeda kalau zakat bersifat wajib sedangkan sedekah bersifat sunnah.
Kalau ada rizki silakan dikeluarkan, sebagai media pembelajaran bersedekah untuk bayi. kalau tidak punya maka tidak apa2 kita tidak mengerjakannya.
Islam adalah agama yang tidak memberatkan hambanya. Sesuai kemampuan masing-masing. Kalau tidak kuasa atau mampu mengerjakannya maka tidak berdosa hukumnya.
Seperti halnya ibadah sholat kalau mampunya berdiri maka berdirilah saat mengerjakannya, jika mampu duduk maka duduklah, kalau mampunya berbaring atau menggunakan isyarat maka pergunakanlah itu.
Waallahu A'lam