Muhammad Zen, MA
Ketua DMI Medan Satria Bekasi &
Konsultan Syariah IMZ-Dompet Dhuafa Republika
Mengawali tulisan ini marilah sejenak kita merenung filosopi hewan yaitu ayam betina, saat mengerami semua telurnya dengan waktu yang sama bahkan dipanaskan juga pada suhu yang sama ternyata telur memiliki dua hasil. Pertama; telur tersebut akan berbuah hasil yang baik jika dengan menetasnya anak ayam dan kedua; tidak dapat hasil yang baik dengan menjadi telur busuk/tembuhuk.
Idul Fitri tak bisa lepas dari ibadah puasa di bulan Ramadhan. Melaksanakan ibadah Puasa juga ternyata dapat menghasilkan dua hasil, bagi yang menjalani puasa dengan keimanan, ketakwaan dan keihlasan akan membuahkan hasil yang baik bagaikan anak ayam –pitik-- yang suci bersih sebab mereka mendapatkan limpahan pahala dan ampunan dari Allh Swt sehingga mereka bahagia saat idul fitri (kembali suci). Lain halnya mereka yang berpuasa tidak dengan keimanan hanya mengharap ria/pujian akan membuahkan hasil yang tidak baik menjadi telur busuk dan tidak menjadi fitrah.
Minal ‘âidîn wa al fâidzîn taqbbalallâhu minnâ wa minkum merupakan ungkapan yang kerapkali dipergunakan oleh umat Islam di belahan dunia ini sebagai tanda ucap kegembiraan dan do’a atas kembali seorang mu’min kepada fitrahnya, setelah berpuasa–selama sebulan penuh–di bulan Ramadhan.
Hari kemenangan (berlebaran) atau yang lebih dikenal sebagai hari raya Idul Fitri, bagi kaum muslimin merupakan saat-saat yang indah dan waktu yang sangat dinanti-nantikan, waktu yang dipergunakan semaksimal mungkin untuk berkreasi menghilangkan kepenatan bersama keluarga yang biasanya pada bulan lainnya dipakai untuk melaksanakan rutinitas pekerjaan.
Ternyata, idul fitri dipergunakan dengan sebaik-baiknya, bertemu bersilaturrahim dengan sanak famili baik yang dekat maupun yang jauh, handai taulan dan tetangga untuk mempererat persaudaraan berjabat tangan dan saling bermaaf-maafan. Bahkan, tak luput sebagai ucap syukur nikmat, umat Islam saat merayakan hari kemenangan mereka menyediakan hidangan yang cukup meriah. Suguhan beraneka ragam jenis makanan dan minuman dengan mudah kita jumpai di pelbagai setiap rumah-rumah muslim yang dipersiapkan untuk kalangan keluarga sendiri, di samping handai taulan, tetangga dan para tamu dalam memeriahkan suasana berlebaran. Saling bermaaf-maafan dan bersilaturrahim. Beratribut serba baru yang kita sandangkan; baju baru, sepatu baru, celana baru, dan semuanya serba baru. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana model lebaran Rasul apakah dengan simbol-simbol yang baru itu?
Marilah kita simak sirah nabawiyah rasul saat berlebaran berdasarkan hadis Shohih Bukhori. Pada saat hari Raya 'Idul Fitri, Nabi Saw mengenakan pakaian terbaiknya dan makan kurma -dengan bilangan ganjil tiga, lima atau tujuh- sebelum pergi melaksanakan shalat 'Idul fitri.
Dari Abdullah bin Umar bahwa Umar ra. mengambil sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar maka dia bawa kepada Rasulullah Saw, lalu Umar ra. berkata: “Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah dengan pakaian ini untuk hari raya dan menyambut utusan-utusan.” Rasulullah Saw menjawab: “Ini adalah pakaian orang yang tidak akan dapat bagian (di akhirat)….” (HR. Al-Bukhari Kitabul Jum’ah Bab Fil ‘Idain wat Tajammul fihi dan Muslim Kitab Libas Waz Zinah)
Dalam keterangan lain juga disebutkan yaitu dalam kitab Al-Mughni karangan Ibn Qudamah al-Maqdisi menjelaskan, “Sahabat Abdullah bin ‘Abbas menuturkan bahwa Rasulullah saw mandi pada hari lebaran Idul Fitri dan Idul Adha. Setelah itu Nabi saw juga tampaknya memakai pakaian yang baru, begitu pula para sahabat”.
Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias untuk hari raya dan bahwa ini perkara yang biasa diantara mereka.” (Fathul Bari) Sebagian ulama menjelaskan diperbolehkannnya membeli baju baru saat lebaran bagi mereka yang punya dan ingin.
Jadi, tampaknya berhias dengan memakai baju baru dan wangi-wangian sudah menjadi kebiasaan pada masa Nabi. Bahkan Nabi sendiri yang menganjurkan untuk memakai wangi-wangian. Menjadi suatu hal yang wajar, mengingat shalat hari raya itu berarti akan bercampur dengan orang banyak, sehingga seyogyanya kita tidak membawa bau-bau yang tidak sedap. Sunnah Nabi Saw ini kemudian mengental menjadi tradisi di kalangan umat Islam seluruh dunia di mana pada hari raya mereka berpakaian serba baru dan memakai minyak wangi. Tradisi lebaran dengan baju baru merupakan simbolisasi kesucian, sebab baju baru terbebas dari noda dan kotor, orang yang mengenaka baju baru tersebut akan berusaha menjaga pakaian itu agar tetap bersih dan tidak terkena noda.
Hal ini sejalan dengan inti makna dari Idul fitri. Idul Fitri terdiri dari dua kata Id dan Fitri. Dr. Ibrahim Unais dalam Mu’jam Al-Wasîth memaknai Idul artinya kembali, sedangkan fitri artinya suci. Jadi Idul Fitri bahwa kita kembali kepada watak dasar (fitrah/ suci) manusia yang ada sejak lahir. Nilai kesucian yang ada, hendaknya dijaga bahkan semaksimal mungkin ditingkatkan kadar kesuciannya, sebagai mana simbol berbaju baru yang mesti kita jaga dari berbagai debu dan kotoran.
Idul fitri diharapkan sebagai tombak menambah ketakwaan kita kepada Allah SWT. Di situlah letak hakikat makna Idul fitri. Janganlah Idul fitri dipahami dengan berbaju baru saja namun melupakan bahwa jiwanya pun baru yang mesti dijaga dari nilai kesucian. Bahkan sebagian ulama ada yang mewanti-wanti untuk tidak mementingkan terhadap simbol-simbol dalam berlebaran, melainkan intinya yaitu keimanan hamba kian bertambah. Sesuai dengan maqalah,: “Tidak dinamankan Id dengan memakai baju baru, akan tetapi Id iman bertambah”
Dengan semangat jiwa yang baru dan beridul fitri hendaknya kita pacu mengukir prestasi ibadah kepada Allah SWT. Apalagi sebentar lagi kita akan ditinggalkan oleh madrasah Ramadhan yang sarat berbagai simbol-simbol ketaqwaan seorang hamba secara vertikal kepada sang Pencipta dan juga secara horizontal yang bernilai kemanusiaan sebagai bentuk ibadah sosial (dengan berzakat). Bahkan, perintah adanya kebersamaan (persatuan dan kesatuan) dan lain sebagainya.
Selepas ramadhan hendaknya segala sisi nilai kebaikan hendaknya senantiasa dipertahankan bahkan semaksimal mungkin untuk ditingkatkan pada bulan selanjutnya. Dengan semangat motto hidup baru dalam jiwa kita, “hari ini dan hari selanjutnya harus lebih baik dari hari sebelumnya”. Hal tersebut dimaksudkan, sebagai upaya bagaimana ketaatan kita sebagai hamba kian meningkat diiringi dengan nilai-nilai keikhlasan dalam menjalankan syariat Islam.
Al-hasil, simbol berlebaran dan hikmah ramadhan hendaknya menjadikan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah semakin meningkat. Saat memasuki atau merayakan idul fitri –di mana telah ditinggalkannya bulan ramadhan-- tak lain dan tak bukan harapannya sebagai bekal hidup kita nanti di hari/bulan/tahun kemudian ibadah kita menjadi lebih baik. Sebagaimana Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hasyr: 18) “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10). Semoga. Wallâhu ‘alam
Tulisan ini sudah dimuat di Koran Harian ”Radar Bekasi” Jum’at tanggal 18 September 2009