BEBAS DARI KRISIS EKONOMI & MONETER
Paper Ini Disusun Sebagai Pengganti Ujian Akhir Semester
Matakuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
Disusun Oleh:
Muhammad Zen
NIM: 02.2.00.1.08.01.0133
Dosen Pembimbing:
Drs. H. Karnaen A. Perwataatmadja, MPA
KONSENTRASI EKONOMI ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2003
A. PENDAHULUAN
Joseph Schumpeter[1] mengatakan adanya great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selam 500 tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai Dark Ages. Masa kegelapan Barat tersebut sebenarnya adalah masa kegemilangan Islam, suatu hal yang beruasaha ditutupi oleh Barat karena pemikiran-pemikiran ekonomi Islam pada masa inilah yang kemudian banyak dicuri oleh para ekonom barat. Banyak pemikiran ekonom Islam yang dicuri tanpa pernah menyebut sumber kutipannya. Para ekonom muslim tersebut di antaranya: Zayd bin Ali (738 M), Abu Hanifa (767 M), Abu Yusuf (798 M), Abu Ubayd (838 M), Ahmad bin Hambal (855 M), Al-Kindi (1873 M), Farabi (950), Al-Ghazali (1111 M), Ibn Taimiyah (1328 M), Ibnu Rusyd (1185 M) dan lain-lainnya.[2]
Hikmah dari mempelajari matakuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam yaitu menurut hemat penulis bahwa Perbankan Islam merupakan instrumen dari ekonomi Islam. Walaupun bisa kita katakan bahwa bank-bank Islam modern baru mulai didirikan pada tahun 1960-an, dapat kita cermati bagaimana sejarah aktivitas perbankan telah dimulai sejak zaman Rasulullah. Nabi Muhammad SAW, sejak sebelum diutus menjadi Rasul, telah dikenal sebagai seorang Al-Amin. Karena kejujuran itulah Rasulullah dipercaya menyimpan segala deposit oleh orang ramai, sehingga pada saat terakhir sebelum Rasul hijrah ke Madinah beliau melantik Sayidina Ali r.a. untuk mengembalikan segala deposit itu kepada yang punya.[3] Konsep tentang bank Islam memang terbilang relatif baru bagi masyarakat muslim, termasuk umat Islam di Indonesia. Baru pada tahun 1992 Indonesia memiliki sebuah bank Islam yang menerapkan sistem bagi hasil, yaitu Bank Muamalat yang terbukti telah terhindar dari badai krisis ekonomi dan moneter.
Masih segar di ingatan kita bahwa krisis keuangan yang terjadi di negara-negara Asia terutama Indonesia, berawal dari devaluasinya Baht Thailand pada bulan Juli 1997 yang merupakan suatu tantangan berat bagi perekonomian dunia --terutama perbankan-- di akhir abad ke-20. Saling ketergantungan dalam perdagangan di antara negara Asia ini membawa malapetaka dan kehancuran perekonomian negara-negara seperti Malaysia, Thailand, Korea Selatan, Filipina dan juga tak terelakkan Indonesia.
B. Pembahasan
Gejolak moneter yang melanda Indonesia saat ini berawal dari gejolak moneter di negara-negara tetangga, sehingga walaupun fundamental ekonomi Indonesia kuat, tak ayal lagi nilai tukar rupiah terdepresiasi besar. Hal ini mengakibatkan menurunnya nilai tukar waktu puncak krisis mata uang, nilai tukar rupiah sempat merosot tajam terhadap dollar Amerika. Ketika sebelum terjadi krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika adalah sekitar Rp 2.400 per 1 US Dollar. Tapi ketika terjadi krisis, nilai tukar rupiah bahkan pernah mencapai sekitar Rp 15.000 per 1 US Dollar. Dampak dari adanya devaluasi baht dirasakan juga oleh pasar saham di Hongkong dan juga dirasakan oleh stock exchange centers di Eropa, USA, dan Jepang.
Bahkan krisis ini juga meningkatkan angka kemiskinan rakyat Indonesia yang berimbas pada meningkatnya angka kriminalitas yang terjadi. Dampak adanya krisis ini terlihat nyata pada kondisi sosial-politik-ekonomi Indonesia. Kondisi sosial Indonesia menjadi memburuk dengan meningkatnya kriminalitas dan pengangguran. Permasalahan mendasar dari krisis keuangan yang berdampak pada krisis ekonomi disebabkan krisis kualitas lembaga-lembaga keuangan yang dipengaruhi oleh penerapan suku bunga sebagai sistem ribawi yang ternyata gagal berfungsi sebagai alat indirect screening mechanism. Bahkan, sistem ribawi ini sendiri berpotensi menjadi economic trouble maker yang melahirkan tiga macam krisis, yaitu krisis keuangan dan moneter (financial crisis), krisis pasar saham, dan krisis perbankan yang semuanya itu berpengaruh negatif pada kehidupan sektor riil.
Sejarah telah mencatat bahwa ekonomi Islam telah diimplementasikan sejak zaman nabi Muhammad SAW, Khalifah al-Rasyidun dan para fukaha pada masa dinasti Umayyah dan dinasti Abbasiyah. Bahkan pemikiran-pemikiran ekonomi Islam yang diwariskan kepada penerusnya yaitu para ulama masa kontemporer terus digali dan dikembangkan sesuai dengan zamannya masing-masing.
Kesadaran menggunakan sistem ekonomi Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits ini muncul karena secara empirik dalam sistem ekonomi Islam tidak menggunakan riba dengan menghindari penggunaan suku bunga dan menerapkan prinsip profit and loss sharing (bagi hasil) pada financial intermediation yang lebih adil dapat menciptakan perekonomian yang lebih stabil dan efisien yang mengeliminir dan melarang kegiatan-kegiatan yang nonproduktif, berbahaya, haram (non halal), tidak baik (non thayyib) di anataranya melalui pelaksanaan perbankan syariah.
Sistem ekonomi Islam bukan merupakan sistem kapitalis dan bukan pula sistem sosialis.[4] Ekonomi Islam memiliki sistem sendiri, tidak memusatkan kepada pada individu saja seperti halnya ekonomi kapitalis dan juga tidak memusatkan kepada kepentingan orang banyak saja seperti halnya sistem sosialis. Ekonomi Islam mengakui kepentingan individu dan kepentingan orang banyak selama tidak bertentangan antara keduanya atau selama masih mungkin mempertemukan antara keduanya.
Masudul Alam Choudhury menyatakan prinsip ekonomi Islam diantaranya distributive justice. Distributive justice yaitu menghendaki adanya keadilan distribusi kekayaan melalui pembayaran zakat, sedekah dan infak tidak merugikan orang lain atau menabung dengan sistem bagi hasil.[5] Perbankan syariah merupakan bagian dari sistem Islam yang mencakup kaidah dan syariahnya. Dalam sistem ekonomi Islam, manusia dikendalikan oleh keyakinan bahwa tingkah laku ekonomi manusia di dunia ini akan dapat terkendali, sebab manusia harus sadar bahwa perbuatannya termasuk tindakan ekonominya akan diminta pertanggungjawabannya kelak oleh Allah SWT. Sistem ekonomi Islam terikat pada kepentingan sosial dan moral, misalnya Islam mengakui bahwa motif ekonomi itu adalah laba (profit). Akan tetapi motif itu terikat atau dibatasi oleh tanggung jawab moral, sosial, dan pembatasan diri. Dengan adanya batasan tersebut motif laba tidak akan menjadikan manusia individualisme dan ekstrim. Sistem ekonomi Islam melarang semua praktek yang merusak dan anti sosial yang terdapat dalam masyarakat, misalnya berjudi, minum arak, riba, menumpuk harta, dan sebagainya.[6] Kalau kita membaca seting sejarah ekonomi ke belakang akan mengingatkan kita kepada sejarah ekonomi Islam, diawali dari zaman Rasulullah sampai sekarang terbukti banyak yang terungkap, bahwa Islam pernah jaya dan memimpin peradaban dunia. Dengan mempelajari sejarah pemikiran ekonomi Islam ternyata di tengah masyarakat Islam dalam rentang waktu sejarah sejak zaman Rasulullah,[7] Khulafa’ al-Rasyidun dan Daulah-daulah Islam sesudahnya, kita dapat menemukan adanya sistem ekonomi yang khas dan berbeda sistem ekonomi dengan yang lain, orisinil dalam arti bukan tiruan, dan tidak berubah sepanjang masa, sehingga kita akan bisa menyebut inilah system ekonomi Islam.
Kita merasa bersyukur dan gembira sebab saat ini kajian tentang ekonomi Islam semakin meluas dan booming, terutama perbankan syariah. Tapi sayang, perbankan syariah masih tidak banyak dilirik masyarakat pengusaha, dan juga belum mampu memberikan kontribusi signifikan pada perbankan nasional. Barulah ketika pemerintah menerbitkan Undang-Undang Perbankan No. 10 tahun 1998 peta perbankan komersial di tanah air berubah. Bank syariah baru dan unit-unit syariah dari bank konvensional pun bermunculan. Harapan umat Islam terutama kaum duafanya semakin besar, untuk mendapatkan bantuan guna memperbaiki nasib mereka.[8]
Terlepas dari itu, sebagai ibrah hendaknya krisis sektor perbankan yang kita alami beberapa waktu lalu, hendaknya dijadikan sebagai bukti bahwa akan pentingnya pengaturan dan pengawasan perbankan, di samping penerapan pola sistem syariah (profit and loss sharing).[9] Pemikiran konsep dasar perbankan Islam telah berjalan lama, namun konsep perbankan Islam --selanjutnya disebut perbankan Syariah-- relatif baru bagi masyarakat Indonesia, termasuk bagi masyarakat muslim sendiri. Perbankan syariah memang masih dalam tahap awal. Adalah wajar bila masih kurang dimengerti oleh masyarakat sehingga sebagian dari mereka memandang dengan harapharap cemas dan keraguan sekaligus[10]. Penyebabnya bukan saja karena masih terbatasnya jaringan pelayanan perbankan syariah, tapi juga karena masih kurangnya pusat-pusat kajian perbankan syariah khususnya dan ekonomi Islam pada umumnya. Pemahaman sistem perbankan syariah tidak cukup hanya dilakukan melalui sosialisasi teknis. Latar belakang dan sejarah perkembangan pemikiran para ulama dan cendekiawan muslim sampai terwujudnya konsep sistem perbankan syariah juga perlu disosialisasikan.
Patutlah kita bersyukur bahwa saat ini sudah ada UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992[11] tentang Perbankan telah mengakomodasikan secara luas pelaksanaan sistem perbankan syariah di tengah-tengah sistem perbankan yang telah berjalan selama ini. Dengan kata lain, di bawah UU tersebut maka sistem perbankan kita telah menganut dual banking system. Respon terhadap UU tersebut cukup menggembirakan. Dewasa ini telah ada dua bank umum syariah (Bank Muamalat dan BSM) dan tiga bank umumkonvensional yang membuka Unit Usaha Syariah (UUS), yaitu Bank IFI dengan 10 kantor cabang syariah. Di samping itu beberapa bank lain sedang dalam proses persiapan pembukaan UUS seperti Bank Bukopin, Bank Danamon, Bank BRI, dan Bank Tugu.
Bank adalah lembaga kepercayaan. Oleh karena itu manajemen bank harus menggunakan semua perangkat operasionalnya untuk mampu menjaga kepercayaan masyarakat itu. Salah satu perangkat yang sangat strategis dalam menopang kepercayaan itu adalah permodalan yang cukup memadai. Modal merupakan faktor yang amat penting bagi perkembangan dan kemajuan bank sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat. Setiap penciptaan aktiva, disamping berpotensi menghasilkan keuntungan juga berpotensi menimbulkan terjadinya resiko. Oleh karena itu modal juga harus dapat digunakan untuk menjaga kemungkinan terjadinya resiko kerugian atas investasi pada aktiva, terutama yang berasal dari dana-dana pihak ketiga atau masyarakat. Peningkatan peran aktiva sebagai penghasil keuntungan harus secara simultan dibarengi dengan pertimbangan resiko yang mungkin timbul guna melindungi kepentingan para pemilik dana.[12]
Disadari atau tidak, selama ini perbankan syariah sedang mencari bentuk ideal, baik bagi deposan, kreditur (Bank Syari'ah) maupun debitur. Kondisi ini semestinya mendapat dukungan sungguh-sungguh semua pihak, terutama umat Islam mayoritas di Indonesia, untuk tetap menjaga agar kontaminasi efek "polarisasi antaragama" yang semakin hari semakin meruncing tidak berakibat buruk bagi kelangsungan hidup Bank Syari'ah itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan upaya radikalisasi pada ranah perbaikan mutu (quality improvement needs) di semua sisi manajemen dan operasionalisasi perbankan syari'ah. Di sinilah peran Public Relation (PR) dari perbankan syari'ah dibutuhkan. Sehingga muncul pemahaman yang benar tentang perbankan syari'ah. Target yang ingin dicapai dari pengembangan berbasis mutu adalah mampu membentuk perbankan syari'ah-sebagai entitas bisnis jasa keuangan alernatif-yang kuat, terpercaya, feasible, dan bisa dinikmati oleh masyarakat secara umum (inklusif). Hal ini sejalan dengan konsep STAF, Siddiq(benar), Tabligh (mampu menyampaikan), Amanah (terpercaya), Fathonah (cerdas) dan kreatif dalam menyelesaikan persoalan di perbankan syari'ah.
Pemikiran Ekonomi Islam
Para pakar ekonom sepakat menyatakan bahwa ada dua hal yang harus diperhatikan untuk keluar dari multidimensional krisis ekonomi di Indonesia. Pertama, mempersiapkan sistem yang akan mengatur masyarakatnya. Kedua, Mendidik masyarakatnya agar memiliki kesadaran intelektual, kesadaran sosial-politik dan kesadaran pragmatis dan praktis untuk dapat melaksanakan sistem tersebut, atau sebaliknya.[13] Istilah syari'ah sepertinya sudah familiar pada dunia perbankan. Di Indonesia kita lebih kenal dengan istilah "Perbankan Syari'ah" daripada "Perbankan Islam".
Perbankan syariah merupakan instrumen ekonomi Islam, ini bisa dilihat bagaimana sejarah pemikiran ekonomi syari'ah sudah mulai bermunculan bersamaan dengan respon para pemikir muslim terhadap embrio perbankan Islam dengan adanya tantangan-tantangan ekonomi pada zamannya. Perkembangan wacana Ekonomi Syari'ah, khususnya di Indonesia, baik dalam tatanan konsep teoritis maupun implementasi praktis, mengalami kemajuan yang berarti sejak beberapa tahun terakhir. Pengembangan konsep ekonomi berbasis syari'ah ini menjadi terasa semakin penting disaat gejolak ekonomi Indonesia kian gonjang-ganjing yang mengakibatkan krisis multidimensional.
Profesor Jacquen Austry, seorang ahli ekonomi berkebangsaan Perancis mengatakan bahwa untuk keluar dari kesulitan ekonomi yang pernah dipimpin oleh mazhab ekonomi sosialis dan kapitalis kita harus menemukan suatu konsep ekonomi yang adil dan seimbang, dan itu hanya bisa diperoleh pada mazhab ekonomi syari'ah. Menurutnya, mazhab ekonomi syari'ah akan memimpin dunia di kemudian hari karena mazhab ini merupakan susunan kehidupan yang sempurna. Seorang orientalis berkebangsaan Perancis, Raymond Charles, mengatakan bahwa Islam telah menggariskan jalan kemajuan tersendiri. Di bidang produksi ia sangat memuliakan kerja dan mengharamkan segala bentuk eksploitasi. Di bidang distribusi ia menetapkan dua kaidah "bagi masing-masing menurut kebutuhannya". Seperti hak Allah yang suci, yang dibebankan pada setiap orang-orang mukallaf (sudah 'aqil-baliqh).
Bila orang-orang non muslim saja yakin dengan konsep ekonomi syari'ah yang pernah digagas Islam pada dekade fuqoha, filosof dan sufi, alangkah sangat ironisnya jika ummat Islam tidak mau tahu dengan konsep ekonomi Islam yang berbasis syari'ah yang notabene prinsip-prinsipnya berasal dari Yang Maha Sempurna seperti yang tertuang dalam surat; (al-Ahzâb : 72), (Hûd : 61), al-Baqarah : 29-30, 275-279), ( al-Jâtsiyah : 13), (al-Jumu'ah : 10), (an-Nisâ' : 29), (al-'Arof : 85), (al-Mâidah : 3), (al-Hasyr : 7), (at-Taubah : 34), (al-Ma'ârij : 24-25), (al-Isro' : 26), (al-Furq : 67), (ar-Rûm: : 39).
Dengan lain kata, ekonomi berbasis syari'ah pada intinya sudah dimulai sejak Islam berdiri diatas landasan al-qur'an dan hadist dibawah pimpinan ekonom yang bijak yaitu Muhammad SAW. Setelah wafatnya perkembangan ekonomi Islam dibagi menjadi tiga fase :
Pertama, Tahap Dasar - 450. H. pada fase ini muncul ekonom-ekonom Islam seperti Abu Yusuf (182. H/798. M) dengan kitab al-Khorroj yang banyak membahas mengenai keuangan publik (public Finance) dan akuntansi syari'ah. Kemudian Muhammad bin al-Hasan (189. H/804. M) menelurkan kitab al-Iktisab fii al-rizqi al-Mustahab (tentang bagaimana mendapatkan penghasilan hidup yang bersih) dengan cara sewa-menyewa, perdagangan, pertanian dan industri dan kitab al-Ashl yang membahas mengenai jual-beli salam, kemitraan, dan bagi hasil (mudharabah). Abu 'Ubaid dengan kitabnya al-Amwal yang menjelaskan tentang materi zakat, khums, dan fay'ie yang merupakan intervensi pemerintah atas keinginan masyarakat yang berlebihan. Mawardi dengan kitabnya Al-Ahkam al-Sulthoniyyah dan al-Din Wad-Dunya yang membahas mengeni penerimaan negara dan perilaku individu sebagai produsen maupun konsumen.
Fase Kedua, berkembang dengan lahirnya ekonom kenamaan yaitu al-Ghazali (451-505. H/1055 - 111. M) dengan kitabnya Ihya' 'Ulum al-Din, Ushul al-Fiqh, al-Musytasyfa, Mizan al-'amal, dan al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-Mulk. Dalam kitabnya ia menjelaskan tentang korupsi, evolusi uang, riba dan penimbunan barang. Sedangkan Ibn Taimiyah (661-728. H/1263-1328. M) dalam kitabnya al-Fatawa, al-Hisbah dijelaskan mengenai konsep harga yang fair dan adil sesuai landasan moral masyarakat. Lalu Ibn Kholdun (732-808. H/1332-1404. M) dalam bukunya Muqaddimah membahas tentang politik, sosial ekonomi Islam hingga perdagangan luar negeri.
Fase Ketiga, lahirlah Shah Waliyullah (1114-1176. H/1703-1762. M) dengan kitabnya Hujjatullah al-Baligho yang menjelaskan tentang rasionalisasi pendapatan dan hingga dewasa ini muncul pakar ekonomi syari'ah seperti Umar Chapra, Najetullah Siddiqi dan lainnya. Di Indonesia seperti Karnaen Perwaatmadja, Syafi'ie Antonio, Dawam Raharjo dan para ekonom muslim lainnya. Menurut Prof. DR. Muhammad Abdullah al-Arabi bahwa ekonomi Islam yang berbasis syari'ah memiliki keistimewaan berupa fleksibelitas, dimana satu sisi bersifat tetap (prinsip), namun pada sisi lain dapat berubah-ubah (tehnis) keduanya merupakan bagian dari sistem yang menyeluruh (kaffah), merealisasikan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
Ekonomi Syariah Di Indonesia
Ekonomi syariah adalah ekonomi yang bertumpu pada sistem nilai dan etika yang berlandaskan tauhid, yaitu: bermotivasi memperoleh keridhaan Allah; berorientasi jangka panjang, yaitu mencapai kebahagiaan di dunia sampai akhirat; dan diterapkan melalui pengembangan aplikasi dari prinsip-prinsip Islam, syariah dan tradisinya. [14] Sistem ekonomi syariah adalah sistem ekonomi pasar yang berkeadilan, bukan bersifat kapitalistis-individualistis, walaupun ia mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor-faktor produksi. Pemilikan kekayaan pribadi itu harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan kesejahteraan masyarakat.
Ekonomi syariah juga bukan ekonomi sosialis-kolektif walaupun kepemilikan individu itu dibatasi oleh dua hal, yaitu pertama, tidak boleh diperoleh dengan cara yang tidak sah menurut syariah dan kedua, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Sebagai contoh, individu tidak boleh memiliki sumber daya alam yang bersekutu dengan manusia, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Manusia bersekutu dengan tiga macam benda yaitu rumput, air dan api” (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Berdasarkan hadits ini, maka individu tidak boleh memiliki padang rumput (mungkin pengertiannya dapat diperluas dengan hutan dan jalan), sumber air dan sumber api (minyak, batu-bara, gas, listrik dan sebagainya). Sumber-sumber daya tersebut harus dikelola negara.
Ekonomi syariah adalah suatu kegiatan ekonomi yang bebas dari segala transaksi yang dilarang oleh syariah, yaitu bebas dari produksi dan perdagangan barang-barang yang haram dimakan, alat-alat maksiat, bebas dari segala bentuk perjudian, pelacuran, penimbunan, kecurangan dalam mengukur, menakar dan menimbang, promosi/iklan palsu (menipu atau menyesatkan), menyembunyikan cacat barang, menyembunyikan informasi, monopoli, suap dan sebagainya. Ekonomi syariah anti riba, maisir dan gharar. Oleh karena itu tidak bersifat inflatoir, dan tidak menciptakan gap antara kinerja sektor keuangan dengan sektor riil. Perputaran sektor keuangan (financial turnover) harus berbanding lurus dengan perputaran sektor riil, dan tidak menciptakan pertumbuhan ekonomi yang semu (bubble economy). Kegiatan ekonomi bagi umat Islam merupakan salah satu sarana beribadah, dalam rangka membina ketenteraman dan kebahagiaan individu, keluarga dan masyarakat secara seimbang (adil) dan menolak segala bentuk kemungkaran. Oleh karena itu menjalankan kegiatan ekonomi bagi umat Islam bukan hanya sebagai transaksi komersial, tetapi juga sebagai suatu kewajiban agamis, termasuk dalam rangka menumbuhsuburkan zakat, infaq dan sedekah.
Menko Kesra, Jusuf Kalla dan Menko Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, pernah menegaskan bahwa kita harus memiliki komitmen kuat dalam menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui kebijaksanaan yang adil. Kaitannya antara dunia perbankan dan penanggulangan kemiskinan, penegasan kedua menteri yang menekankan aspek keadilan itu perlu digarisbawahi.[15] Menurut hemat penulis penerapan sistem bunga dalam dunia perbankan telah melahirkan praktik kebijakan moneter yang tidak adil, tidak jujur, dan cenderung menghisap nasabah. Hal itu lantaran sistem bunga meniscayakan keuntungan yang pasti dari debitur dalam jumlah persen, meskipun debitur sendiri mengalami kerugian dalam usahanya. Dengan kata lain, bank tidak mau tahu dengan kesulitan dan kerugian yang dialami kliennya.[16] Ketidakpedulian dunia perbankan atas kondisi sang klien jelas tidak fair. Sebab perbankan menempatkan debitur tidak lebih sebagai pengutang yang wajib membayar tanpa tawar. Seharusnya perbankan sebagai lembaga keuangan yang berorientasi pada pendorongan pertumbuhan industri dan kemajuan ekonomi, menempatkan nasabah bukan sebatas hubungan antara kreditur dan debitur, tetapi menjadikan debitur sebagai mitra usaha, bisnis dan perdagangan.
Menjadikan debitur sebagai mitra, mengharuskan bank berhati-hati dan teliti dalam menginvestasikan modalnya, terutama ketika menyeleksi para nasabah yang mengajukan kredit (calon debitur) untuk usahanya. Pihak bank harus benar-benar mengetahui seluk-beluk jenis usaha dan prospek usaha calon debitur. Bukan cuma asal memiliki agunan dan 'koneksi', lantas nasabah dengan mudah dikucuri dana, padahal jenis usahanya tidak layak mendapat suntikan dana segar. Selain itu, bank sebagai pemilik modal bersama-sama dengan debitur sebagai pemutar modal, juga harus siap menanggung kemungkinan risiko kerugian yang dialami debitur. Jadi tidak hanya siap untung, tapi juga siap rugi.
Di sinilah tampaknya perbankan syariah memiliki arti penting. Perbankan syariah yang menerapkan sistem bagi hasil yang meniscayakan adanya penanggungan risiko kerugian bersama baik di pihak bank maupun debitur, memang dilahirkan untuk mengisi kelemahan perbankan konvensional selama ini. Soal kelemahan perbankan konvensional, pengamat ekonomi Islam asal Jogjakarta, Muhammad (2002) mencatat lima hal.
Pertama, transaksi berbasis bunga melanggar keadilan atau kewajaran bisnis. Sebab, dalam bisnis, hasil dari setiap perusahaan selalu tidak pasti. Peminjam sudah berkewajiban untuk membayar tingkat bunga yang disetujui walaupun perusahaannya mungkin rugi. Meskipun perusahaan untung, bisa jadi bunga yang harus dibayarkan melebihi keuntungannya. Hal ini jelas bertentangan dengan norma keadilan.
Kedua, komitmen bank untuk menjaga keamanan uang deposan berikut bunganya membuat bank cemas untuk mengembalikan pokok dan bunganya. Oleh sebab itu, demi keamanan, mereka hanya mau meminjamkan dana bagi bisnis yang sudah benar-benar mapan dan sukses, sementara mereka yang memiliki potensi tertahan untuk memulai usahanya. Ini menyebabkan tidak seimbangnya pendapatan dan pemerataan kesejahteraan.
Ketiga, tidak fleksibelnya sistem transaksi berbasis bunga menyebabkan kebangkrutan. Hal ini berdampak pada hilangnya potensi produktif masyarakat secara keseluruhan, selain dengan pengangguran sebagian besar orang.
Keempat, sistem transaksi berbasis bunga menghalangi munculnya inovasi oleh usaha kecil. Para pengusaha kecil yang tidak memiliki saving dana memadai akan selalu takut melakukan inovasi baru bagi dunia usahanya, karena ia kuatir bila inovasi itu gagal, maka ia harus mengembalikan utangan berikut bunganya yang memberatkan.
Kelima, dalam sistem bunga, bank tidak akan tertarik dalam kemitraan usaha kecuali bila ada jaminan kepastian pengembalian modal dan pendapatan bunga mereka.
Bercermin pada lima kelemahan tersebut, perbankan syariah yang berbasis bagi hasil (banking without interest) alias menolak sistem bunga (interest), bermaksud benar-benar menjembatani kegiatan perekonomian secara fair, yang selama ini dinafikan perbankan konvensional. Setidaknya bisa ditinjau dari penjelasan berikut.
Pertama, dalam sistem perbankan konvensional, selain berperan sebagai jembatan antara pemilik dana dan dunia usaha, perbankan juga masih menjadi penyekat antara keduanya karena tiadanya transferability risk and return (distribusi secara adil risiko dan keuntungan). Tidak demikian halnya perbankan syariah, di mana ia menjadi manajer investasi, wakil atau pemegang amanat (custodian) dari pemilik dana atas investasi di sektor riil. Dengan demikian, seluruh keberhasilan dan risiko dunia usaha atau pertumbuhan ekonomi secara langsung didistribusikan kepada pemilik dana sehingga menciptakan suasana harmoni.
Dalam konteks makro, modus ini menghindarkan terjadinya gap antara sumber dana dan investasi (saving-investment gap) sehingga menciptakan landasan pertumbuhan yang kuat. Skema produk perbankan syariah secara alamiah merujuk pada dua kategori kegiatan ekonomi, yakni produksi dan distribusi. Kategori pertama difasilitasi melalui skema bagi hasil (mudharabah) dan kemitraan (musyarakah). Sedangkan kegiatan distribusi manfaat dari hasil-hasil produk dilakukan melalui skema jual-beli (murabahah) dan sewa-menyewa atau ijarah (Muhammad, 1999).Kedua, jelasnya, dalam menghadapi gejolak moneter yang diwarnai tingkat suku bunga yang tinggi, perbankan syariah terbebas dari negative spread, karena perbankan syariah tidak berbasis pada bunga uang. Konsep syariah menjaga keseimbangan antara sektor riil dengan sektor moneter, sehingga pertumbuhan pembiayaannya tidak akan lepas dari pertumbuhan sektor riil yang dibiayainya.
Pada saat perekonomian dunia usaha lesu, maka yield (hasil) yang diterima oleh perbankan syariah juga menurun, pada gilirannya return yang dibagihasilkan kepada penabung juga turun. Sebaliknya, pada saat perokonomian booming, maka return yang dibagihasilkan akan booming pula. Dengan kata lain, kinerja perbankan syariah ditentukan oleh kinerja sektor riil, bukan sebaliknya. Dalam pandangan Islam, uang hanyalah sebagai alat tukar dan bukan merupakan barang komoditas. Islam tidak mengenal time value of money (nilai uang yang terus berkembang bersama dengan waktu), tetapi Islam mengenal economic value of time (nilai ekonomi waktu). Jadi, dengan kata lain, yang berharga menurut pandangan Islam adalah waktu itu sendiri, bukan uang (Zainul Arifin, 1999).
Di samping itu, perbankan syariah yang meniscayakan konsep bagi hasil, dengan sendirinya telah menempatkan debitur sebagai mitra usaha, bukan klien pesakitan yang 'dieksploitasi' untuk mengeruk dan menangguk keuntungan pribadi semata. Akhirnya, prospek perbankan syariah sebagai investment banking sejati yang mampu menjadi agen pembangunan sendi-sendi perekonomian tanah air, membantu dalam pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja tidak bisa dianggap remeh.
Mencuatnya Perbankan Syariah Di Indonesia.
Dulu sekitar tahun 1990-an gagasan membentuk bank syariah disambut dengan antusias. Malah, ketika Bank Muamalat Indonesia akhirnya lahir tahun 1992 di Istana Bogor, bukan hanya kalangan melek ekonomi saja yang ikut andil. ''Tukang cendol, bakso dan tukang sate pun ikut beli saham,'' kenang AM Saifuddin, penggagas nama 'Muamalat' untuk menyebut bank syariah pertama di Indonesia itu.Mantan menteri pangan era Soeharto itu menunjuk, kelahiran BMI bak lokomotif bagi gerbong-gerbong bank syariah lainnya. Terbukti, sampai 2001 (Oktober) saja tercatat ada lima bank umum syariah dengan kantor cabang mencapai 45 buah, dengan empat kantor cabang pembantu dan 41 kantor kas. Termasuk 81 buah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) syariah. Belum lagi unit syariah baru seperti unit syariah BRI, Danamon, Bukopin dan baru-baru ini yang disebut-sebut Bank Persyarikatan (Bank Swasarindo yang dibeli PP Muhammadiyah, yang konon akan dikonversi menjadi syariah). ''Dengan bertambahnya bank-bank syariah maka ini menunjukkan bank syariah laku keras di masyarakat. Prospektif lah,'' tandas lelaki yang akrab dipanggil Pak AM.
1. Bank Muamalat Indonesia (BMI)
Riawan --Dirut BMI-- menyebutkan[17], di usianya yang ke-11 tahun, BMI telah menunjukkan kemampuannya bertahan melewati masa krisis yang melanda bangsa dan negara Indonesia sejak paruh kedua 1997. ''Ketika bank-bank swasta lain sebagian besar jatuh ke dalam pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional aau bahkan dilikuidasi, BMI tetap bertahan pada predikat bank berkategori A,'' tuturnya.
Selama 11 tahun, aset BMI melonjak 18 kali lipat dari Rp 120,3 miliar di tahun 1992 menjadi Rp 2,2 triliun pada 2003. Saat ini rasio kecukupan modal (CAR) BMI 16,9 persen (dua kali target pemerintah, yakni delapan persen). Per Desember 2002, rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (FDR) mencapai 80 persen. Jumlah pembiayaan itu mencapai Rp 1,7 triliun. ''Tahun 2003, kami menargetkan aset Rp 2,8 triliun, dan pembiayaan Rp 2,4 triliun.
Tahun ini terbukti BMI telah membukukan suntikan modal baru sebesar Rp 104 miliar. Dana itu berasal dari investor lokal maupun asing. Kini Bank Pembangunan Islam (IDB) menjadi pemegang saham terbesar (35 persen). Pemegang saham lainnya, masyarakat (25 persen), Abdul Rohim (14 persen), Rizal Ismail (12 persen), Asosiasi Panel Kayu Indonesia (7 persen), dan Badan Pengelopla Dana Ongkos Naik Haji (BPD-ONH, 5 persen). Secara keseluruhan, pemegang saham BMI mencapai sekitar 800 orang/lembaga.
Bank Muamalat, bukan sekedar merupakan bank syariah pertama di Indonesia. Lebih dari itu, juga merupakan institusi ekonomi pertama yang menerapkan sistem syariah di Indonesia. Wajar jika BMI menjadi simbol monumental kebangkitan sistem ekonomi syariah di Indonesia. Apalagi saat Bank Muamalat mulai beroperasi pada 1 Mei 1992, sistem perbankan Indonesia sepenuhnya masih menerapkan sistem konvensional. Termasuk di Bank Indonesia, sebagai lembaga bank sentral. Izin usaha bagi PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) sendiri sebenarnya sudah dikantungi sejak 1 November 1990. Gagasan pendirian bank tanpa bunga ini, bermula dari Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan yang digelar MUI, 18-20 Agustus 1990. Gagasan inilah yang kemudian diadopsi menjadi salah satu rekomendasi yang dihasilkan Munas IV MUI, 22-25 Agustus tahun yang sama.
Meskipun awalnya modal menjadi kendala untuk mewujudkan gagasan pendirian bank ini. Saat itu, untuk mendirikan bank umum sawasta nasional, diperlukan modal disetor minimal Rp 10 miliar. Hal ini didasarkan pada kebijakan Deregulasi bidang Keuangan, Moneter dan Perbankan yang dikenal dengan Paket Kebijakan Oktober (Pakto 27), 27 Oktober 1988. Untuk mengumpulkan dana Rp 10 miliar dari ummat Islam, saat itu bukanlah hal yang mudah. Namun dengan dukungan ICMI, lobby Habibie kepada Presiden Soeharto serta dukungan para pengusaha dan ummat Islam pada umumnya, akhirnya berhasil dimobilisasi dana hingga Rp 106 milyar. Dana inilah yang kemudian menjadi modal usaha Bank Muamalat. Saat perbankan nasional mengalami krisis cukup parah pada 1998, sistem bagi hasil yang secara umum diterapkan dalam produk-produk Bank Muamalat, relatif berhasil mempertahankan kinerja bank tersebut. Saat Bank Indonesia menetapkan rasio kecukupan modal (Capital Adequcy Ratio/CAR) yang harus dimiliki bank minimum empat persen, Bank Muamalat memiliki CAR 12 persen. Berdasarkan laporan keuangan per Juni 2000, bank yang berkantor pusat di Arthaloka Building, Jl. Jendral Sudirman No. 2 Jakarta itu berhasil membukukan laba Rp 17 miliar. Laba tersebut, berasal dari keuntungan non-operasional yang mencapai Rp 24 miliar.[18]
Sayangnya, secara operasional BMI masih merugi Rp 7 miliar. Berdasarkan RUPS tahun 1999, Bank Muamalat dikelola oleh suatu dewan direksi yang terdiri dari A. Riawan Amin sebagai direktur utama serta Ariviyan Arifin, Suhaji Lestiadi dan Budi Wicaksono masing-masing sebagai direktur. Jajaran dewan syariah diketuai oleh KH. Ali Yafie dengan anggotanya yaitu KH. Ibrahim Husen, KH. Omar Shihab, KH. Muwardi Chatib dan H. Syafi'i Antonio. Sedangkan di Dewan Komisaris terdapat nama H. Abbas Adhar sebagai komisaris utama, didampingi empat orang komisaris yaitu AM. Saefuddin, M. Amin Aziz, Korkut Ozal, Zainulbahar Noor dan H. Mubarok. 2. Bank Syariah Mandiri (BSM)
Konversi sistem operasi perbankan dari konvensional ke sistem syariah, yang dimungkinkan UU No. 10 Tahun 1998, untuk kali pertama dimanfaatkan oleh Bank Susila Bhakti (BSB). Bank yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Bank Dagang Negara (BDN) -sebelum dimerger ke dalam Bank Mandiri- per 19 November 1999, resmi menerapkan sistem syariah dan mengubah namanya menjadi Bank Syariah Mandiri (BSM). Saat BSM resmi beroperasi, kondisi perbankan nasional Indonesia masih belum pulih dari krisis. Namun, rasio kecukupan modal (CAR) BSM yang saat diresmikan memiliki delapan kantor cabang, sudah 600 persen. Sedangkan assetnya mencapai Rp 450 miliar, Rp 381 miliar diantaranya berupa dana liquid. Dari modal netto Rp 359,118 miliar, BSM telah telah menyalurkan pembiayaan Rp 100 juta. Kali pertama diresmikan, dana masyarakat yang berhasil dihimpun bank yang berkantor pusat di Jl. MH. Thamrin, Jakarta itu, sudah mencapai Rp 57,56 miliar. Rp 47,32 miliar merupakan simpanan nasabah BSB yang dipertahankan pemiliknya di BSM, selebihnya merupakan dana dari masyarakat yang baru bergabung dengan BSM. Karyawan BSM yang jumlahnya mencapai 200 orang, dipimpin oleh Direktur Utama Nurdin Hasibuan dan Direktur Yuslam Fauzi. Pada akhir tahun 2000, BSM memproyeksikan penambahan kantor cabang hingga menjadi 20 dan pada 2001 menjadi 100 kantor cabang. Daerah-daerah yang menjadi prioritas pembukaan cabang, merupakan daerah yang penduduknya mayoritas ummat Islam yaitu Aceh, Pekalongan, Pamekasan (Madura), Solo dan Makassar.[19]
Berdasarkan laporan keuangan per Juni 2000, BSM yang usianya belum genap setahun sudah menunjukkan kinerja yang baik. Ini dibuktikan dengan perolehan labanya yang mencapai Rp 7,8 miliar. Sebagian besar dari laba itu, yaitu Rp 4,3 miliar, berasal dari laba operasional. Biaya pencadangan untuk kredit kategori macet, diragukan dan kurang lancar, juga turun drastis dari Rp 150 miliar menjadi hanya Rp 272 juta. Ini karena adanya suntikan modal segar sebesar Rp 547 miliar, yang Rp 204 miliar diantaranya digunakan untuk menutupi kerugian sebelum konversi BSB menjadi BSM. Dengan demikian, modal yang tercatat per Juni 2000 adalah Rp 358 miliar. Sayangnya, sebagian terbesar dari dana tersebut belum dapat terdistribusi untuk pembiayaan ke usaha-usaha sektor produktif. Namun masih disalurkan untuk membeli Surat Berharga Syariah yaitu Rp 345 miliar. Baru Rp 157 miliar saja yang disalurkan untuk pembiayaan.
3. Bank IFI Syariah
Selain memberi peluang konversi sistem konvensional ke sistem syariah, UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, juga memberi peluang operasi perbankan syariah dengan mekanisme Dual Banking System. Artinya, suatu badan usaha perbankan, memiliki dua sistem operasi sekaligus yaitu sistem konvensional dan syariah. Namun dalam pengelolaan dana, diantara keduanya harus tetap dipisahkan. Sistem operasi ganda perbankan inilah yang diterapkan pada Bank IFI, oleh direktur utamanya, Harry Rachmadi. Pada 29 Juni 1999, Bank IFI resmi membuka satu kantor cabangnya dengan menerapkan sistem syariah. Bank IFI cabang syariah, didirikan dengan modal disetor Rp 2 miliar. Dengan demikian, selain menerapkan sistem konvensional, Bank IFI Juga sekaligus menerapkan sistem syariah. Meski sementara ini Bank IFI hanya memiliki satu kantor cabang syariah yang berlokasi di Jl HR. Rasuna Said, Jakarta, namun sebagai strategi pengembangan usaha, Bank IFI syariah menjalin aliansi dengan sejumlah institusi ekonomi Islam. Bersamaan dengan peresmian Bank IFI Syariah, ditandatangani juga kerjasama dengan PT Danareksa Investment Management, Asosiasi BPR Syariah Indonesia, Yayasan Dompet Dhuafa, Asuransi Takaful serta Ikatan Pengusaha Muslim. Dengan strategi ini, meski jumlah outletnya masih sangat terbatas, Bank IFI Syariah berharap dapat merangkul potensi dana ummat Islam sebanyak mungkin.
Respon Masyarakat Terhadap Perbankan Syariah
Berdasarkan hasil penelitian mengenai preferensi masyarakat terhadap perbankan syariah yang dilakukan Bank Indonesia (BI) menunjukkan potensi pasar bank syariah masih sangat besar. "Dengan demikian, masih terbuka lebar bagi para investor untuk menanamkan dananya di sektor tersebut. Terlebih sektor itu telah menunjukkan kemampuannya untuk meraih keuntungan dan memberikan manfaat bagi masyarakat," kata Pemimpin BI Yogyakarta, Amriel Arief, di Yogyakarta.
Pada seminar Keuangan dan Perbankan Syariah di Indonesia itu, ia menambahkan, semakin maraknya perkembangan bank syariah di Indonesia juga diimbangi dengan upaya penguatan sisi regulasi dan pengembangan infrastruktur yang memadai.[20] Dalam hal ini, peranan sosialisasi yang dilakukan BI maupun pihak perbankan syariah lainnya memiliki posisi yang sangat penting terutama dalam proses edukasi masyarakat," katanya. Hal itu sebagai jawaban atas beberapa hasil penelitian preferensi masyarakat yang mengungkapkan bahwa tingginya apresiasi masyarakat terhadap bank syariah belum diimbangi dengan memadainya pemahaman masyarakat akan prinsip dasar perbankan syariah.[21]
Hingga Januari 2003, total aset dari seluruh bank syariah nasional mencapai Rp 4,13 triliun dengan pangsa pasar 0,38 persen, dana pihak ketiga Rp2,96 triliun (pangsa pasar 0,36 persen), dan pembiayaan/kredit sebesar Rp3,47 triliun (pangsa pasar 0,86 persen). Perbankan syariah juga menunjukkan komitmennya untuk turut serta menjalankan roda perekonomian sebagaimana tampak pada rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga senantiasa di atas 100 persen dalam tiga tahun terkahir ini," katanya.
Undang-undang Perbankan Syariah meminta agar undang-undang itu nantinya dibuat terpisah. ''Prinsipnya audiens sependapat (terpisah). Mereka mendukung diberlakukannya undang-undang yang secara rinci mengatur perbankan syariah karena memang banyak perbedaan pokok di antara bank syariah dan konvensional,'' ujar Zainul Arifin, mantan dirut Bank Muamalat itu kepada Republika, kemarin (14/10). Zainul yang baru saja diangkat menjadi komisaris Bank Syariah Mandiri itu menambahkan, sempat ada juga pernyataan yang dibalik berkait tentang ini. ''Apakah kalau tidak dipisah, perbankan syariah tidak jalan?'' katanya lagi menegaskan seberapa penting UU itu dipisahkan.[22] Beberapa pakar ikut hadir dalam cara seminar antara lain Prof Dr Amin Summa (Universitas Islam Negeri), Prof Dawam Rahardjo, Prof Dr Tobi Muthis (Trisakti). Tidak ketinggalan anggota dewan.Menurut Zainul ada yang meminta agar UU itu nanti tidak saja mengatur soal perrbankan, tapi juga menyangkut institusi keuangan lainnya seperti asuransi dan pasar modal,'' ungkapnya.
Usulan Konkret Direktorat
Agar pengembangan perbankan syariah cukup mendapatkan perhatian, dalam pertemuan itu juga ada usulan agar hierarki manajemen yang mengelola perbankan syariah di Bank Indonesia minimal setingkat direktorat. Saat ini urusan pengembangan perbankan syariah di BI baru ditangani setingkat Biro. ''Spirit yang kita harapkan, bagaimana perkembangan perbankan syariah ini bisa lebih cepat lagi. Kalau yang memimpin setingkat direktorat kewenangannya mesti lebih tinggi dari biro,'' ujar Ketua Umum asosiasi Perbankan Syariah se-Indonesia (Asbisindo) Wahyu Dwi Agung kemarin (14/10).
Menurut Wahyu, dengan dipimpin oleh pejabat setingkat minimal direktorat, maka kewenangan yang lebih tinggi yang dimilikinya memungkinkan mempersingkat pengambilan keputusan. Fenomena sekarang di BI dapat kita cermati bahwa saat ini baru ada dua bank umum syariah dan enam bank konvensional yang membuka divisi syariah. Zainul Aripin menyatakan, ''Saya kira dalam perjalanannya nanti BI tidak akan mengabaikan perkembangan yang terjadi.'' Selain meminta agar biro perbankan syariah ditingkatkan menajadi setingkat direktorat, Wahyu juga meminta agar nama Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dalam RUU perbankan syariah diganti yang lebih sesuai. Nama BPRS, seperti yang sudah pernah diusulkan dalam lokakarya nasional Dewan Pengawas Syariah nasional di Depok, beberapa bulan lalu, tidak sesuai dengan aspek syariah sendiri dan karenanya harus diganti. Pasalnya, perbankan syariah tidak mengenal kredit, yang ada pembiayaan. ''Karena itu kita memberi masukan agar nama BPRS itu dalam RUU perbankan syariah sudah ada gantinya yang lebih tepat,'' katanya.
Peraturan BI tentang Perbankan Syariah di Indonesia
Bank Indonesia (BI) sudah mengeluarkan delapan peraturan perbankan syariah, yang diperlukan sebagai upaya penyempurnaan perangkat peraturan dan ketentuan perbankan syariah agar bank-bank syariah dapat beroperasi secara sehat dan istiqomah dalam menjalankan ketentuan syariah. Perlunya dikeluarkan peraturan perbankan syariah itu, mengingat perbankan syariah bagian integral dari sistem perbankan nasional, sehingga dari perkembangannya yang pesat, perlu diantisipasi sebaik-baiknya oleh berbagai pihak, khususnya oleh otoritas perbankan, kata Deputi Gubernur BI Maulana Ibrahim, di Bandung.[23] Dalam pengarahannya pada pembukaan seminar ekonomi syariah di Gedung Bank Jabar, Maulana menyebutkan, delapan peraturan yang sudah dikeluarkan BI itu antara lain peraturan yang mengatur tentang bank umum berdasarkan prinsip syariah, BPR berdasarkan prinsip syariah, giro wajib minimum, kliring dan pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah.
Kemudian, sertifikat wadiah Bank Indonesia, konversi bank umum konvensional menjadi bank umum syariah, pembukaan kantor syariah oleh bank umum konvensional, dan fasilitas pembiayaan jangka pendek bagi bank syariah. Ia juga menyebutkan, saat ini peraturan BI yang sedang dalam proses penyelesaian adalah peraturan tatacara penilaian tingkat kesehatan bank syariah dan laporan bulanan bank syariah. Masih berkaitan dengan bank syariah, Bank Indonesia telah membuat "Blue Print Perbankan Syariah" yang diterbitkan pada akhir tahun 2002, Arah kebijakan dalam "Blue Print" tersebut, kata Maulana, sejalan dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang mencakup arah pengembangan perbankan syariah yang menjadi landasan bagi Bank Indonesia, lembaga perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya dalam mengembangkan perbankan syariah sepuluh tahun ke depan.
Dengan demikian prospek perbankan syariah di Indonesia ke depan dapat memiliki daya saing, efisien dan memenuhi prinsip kehati-hatian serta prinsip syariah, serta mampu berperan mendorong sektor riil, sehingga pada gilirannya dapat berperan aktif dalam mensejahterakan masyarakat. Dengan lain kata, adanya peraturan dan pedoman itu, menurut Maulana, diharapkan secara mendasar dapat mendukung landasan kelembagaan, kegiatan usaha, instrumen pasar keuangan dan moneter yang sehat sesuai prinsip syariah. Selain telah tersedianya peraturan-peraturan tersebut, BI juga terus berupaya melengkapi dan menyempurnakan perangkat ketentuan bagi perbankan dalam rangka mewujudkan terlaksananya sistem perbankan syariah yang lengkap, yang pada gilirannya dapat memperkuat sistem perbankan nasional, ujarnya.
Berkaitan dengan fungsi BI selaku "lender of the last resort" bagi perbankan, kata Maulana, dalam rangka penyediaan Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek (FPJP) bagi perbankan syariah yang mengalami mismatch likuiditas, telah ditetapkan peraturan BI yang sesuai dengan karakteristik usaha perbankan syariah, yaitu dengan Peraturan BI No. 5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februari 2003 tentang fasilitas pembiayaan jangka pendek bagi bank syariah. Ia menambahkan, berkaitan dengan kebutuhan sosialisasi dan komunikasi yang sangat tinggi, saat ini sedang dipersiapkan pula pembentukan Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) guna menjembatani koordinasi, komunikasi dan sinergi antar lembaga keuangan syariah, agar lebih mewujudkan prinsip kerjasama yang positif untuk menggapai kemaslahatan bersama.
Evaluasi Keuangan Perbankan Syariah
Dalam sebuah penelitian dilakukan oleh Rubitoh Alam Islamy, SE menunjukkan kinerja keuangan bank syariah lebih baik dibandingkan bank konvensional.[24] Enam bank konvensional yang diteliti adalah bank Pikko, Mayapada, CIC, Global, NISP, dan Panin. ''Semua bank itu saya teliti berdasarkan tujuh kriteria yakni Rora (profitabilitas), CAR (rasio kecukupan modal), LDR (rasio penyaluran terhadap dana pihak ketiga), FBI, NNRF, hasil kredit, dan produktifitas karyawan,'' katanya. Dari hasil penelitian itu, perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional dilakukan antarbank yang memiliki aset kecil, aset sama, dan aset besar. ''Ada juga kinerja bank syariah yang di bawah bank konvensional, tapi secara umum lebih baik, bahkan perkembangan bank syariah mencapai 53 persen, sedangkan bank konvesional hanya lima persen,'' katanya.
Servis, Manajemen, dan Permodalan
Di saat intermediasi perbankan konvensional seret semestinya bank syariah menjadi sebuah alternatif. Tapi peluang ini agaknya belum termanfaatkan secara maksimal. Alih-alih memanfaatkan jasa bank syariah, mereka justru merasa memanfaatkan jasa bank bagi hasil tak lebih mudah dari bank konvensional. Soal mutu pelayanan, mungkin bisa menjadi salah satu titik pangkalnya. ''Mau melihat saldo saja katanya dikenai biaya,'' gerutu Masdar F Mas'udi. ''Mereka baru menyebut sebagai bank syariah. Tapi soal keislaman dan kesyariahan belum dibuktikan oleh mutu yang sebenarnya,'' kritik pejabat Katib Aam Syuriah NU (PJS) itu lagi. Selain pelayanan yang dirasa belum memuaskan, Masdar menyebut, bank syariah masih menyandarkan pada pengaruh agama untuk mempengaruhi preferensi nasabah.
Soal pelayanan yang dikeluhkan itu, mungkin ada benarnya. Namun dalam banyak kesempatan, Dirut BMI Riawan Amin menepisnya. ''Pelayanan kami diakui nasabah,'' ujarnya. Menurut Market Research Indonesia (MRI) 2000, pelayanan BMI masuk deretan unggulan. MRI menempatkan kualitas pelayaanan BMI satu dari lima lima bank dengan pelayanan terbaik. Belakangan, Quality Assurance Services Australia juga memberikan penghargaan yang sama. Predikat ISO 9001 2000 untuk pelayanan bank khususnya customer services dan taller banking diberikan kepada BMI.
Masih tentang pelayanan, Ketua Dewan Syariah Nasional, Ali Yafie, berpendapat lain. Menurutnya, tidaklah fair membandingkan institusi perbankan konvensional yang sudah terbentuk ratusan tahun dengan bank syariah yang baru saja muncul. ''Perbankan syariah di Indonesia itu kan baru seumur jagung, jadi tak bisa dibandingkan dengan bank konvensional yang sudah 200 tahun di sini,'' ujar kyai yang dikenal wara' di kalangan NU ini.
Menurut cendekiawan Din Syamsuddin, perkembangan bank syariah di Indonesia memang belum sesuai harapan. Din mungkin benar. Selama 10 tahun berkiprah, total pangsa pasar bank maupun institusi syariah baru sekitar 0,25 persen dari pangsa nasional. Sementara Malaysia, yang sudah beroperasi 20 tahun pangsa pasarnya mencapai 6,9 persen. Hitungan sederhananya, dalam 10 tahun di negeri jiran itu berhasil membukukan pangsa 3,45 persen atau 27,6 kali lebih besar dari Indonesia. Kenapa kita lebih lambat? Kata kuncinya, kata ketua PP Muhammadiyah itu, karena banyak bank syariah termasuk BPR syariah yang masih lemah di sisi manajemen.
Pengalaman Ghozie Abdul Kadir, aktifis Persis di Bangil, mendukung pernyataan Din. Ia yang juga mengasuh sebuah pesantren menganjurkan uang di simpan di salah satu BPR syariah di Bangil. Tapi naas, ketika pimpinan BPR meninggal, simpanan santri dan uang pesantren sebesar Rp 10 juta juga ikut amblas. ''Sepertinya bukan tertipu ya, tapi manajemennya tidak benar. Begitu pimpinan meninggal langsung abis. Itu pengalaman tiga tahun lalu,'' tegasnya.
Setidaknya BMI dalam hal mencetak laba, BMI membukukan keuntungan (unaudited) Rp 63,5 miliar per Desember 2001. Prestasi dalam soal pembiayaan lebih besar lagi. Dari total aset mereka, sebanyak Rp 1,2 triliun disalurkan untuk pembiayaan. Itu berarti LDR (loan to deposit ratio atau jumlah kredit dibanding dengan simpanan pihak ketiga) mencapai 81 persen. Mana ada bank konvensional saat ini yang bisa mencapai LDR setinggi itu? BCA saja LDR-nya cuma 30-an. Artinya BCA memperoleh untung lebih dari SBI, alias ongkang-ongkang saja, bukan riil pembiyaan.
Meskipun dipayungi oleh UU yang sama, perlakukan pemerintah berbeda. Bank syariah layaknya 'anak tiri' yang harus mengusahakan sendiri apa kebutuhannya. Termasuk modal. Pemerintah cuek saja. Pemerintah lebih menganakemaskan bank konvensional yang tak kunjung pulih. Sudah tidak ikut menyuntik modal, pemerintah melalui BI juga belum terlihat sungguh-sungguh menangani bank syariah. Menurut mantan petinggi BI Subarjo Joyosumarto, BI baru menetapkan kebijakan secara umum saja. Ini jauh berbeda dengan kebijakan yang dilakukan di Malaysia. Bank Sentral, kata Subarjo, mengatur secara rinci dan menetapkan target pada tahap-tahap yang dicapai. Misalnya, dalam master plan mereka ditetapkan, untuk tahun 2010, pangsa pasar bank syariah akan mencapai 20 persen dari sistem perbankan di Malaysia.
Melihat perkembangan ini, bisa dimaklumi lambatnya pertumbuhan bank syariah di Indonesia. Bila dua gizi pokok untuk menopang bank syariah --modal dan regulasi -- tak diberikan, tak banyak yang diharapkan dengan pertumbuhan bank syariah. Bank syariah tak ubahnya seperti tanaman hias. Bonsai yang dikagumi, tapi tak menghasilkan manfaat optimal bagi lingkungannya. Atau seperti yang diduga Pak AM, pemeritah memang menghendaki bank syariah cukup sekedar sebagai tempelan.[25]
Pengkategorian modal pinjaman sebagai salah satu sumber permodalan bank seperti diuraikan di atas adalah konsensus yang dianut oleh perbankan kovensional. Dalam pandangan syariah, modal pinjaman (subordinated loan) itu termasuk dalam kategori qard, yaitu pinjaman harta yang dapat diminta kembali. Dalam literatur fiqh Salaf Ash Shalih, qard dikategorikan dalam aqad tathawwu' atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial . Pemberi pinjaman tidak boleh meminta imbalan atas pemberian pinjaman tersebut, karena setiap pemberian pinjaman yang disertai dengan permintaan imbalan termasuk kategori riba. Penerima pinjaman wajib menjamin pengembalian pinjaman tersebut pada saat jatuh tempo. Oleh karena itu qard mempunyai derajat preferensi yang tinggi, setara dengan kewajiban atau hutang lainnya. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka tidak beralasan bagi qard untuk ikut menanggung resiko atau memberikan proteksi terhadap kegagalan atau kerugian bank ataupun memberikan proteksi terhadap kepentingan deposan. Dengan demikian pinjaman subordinasi tidak dapat dipertimbangkan untuk diperhitungkan sebagai modal bagi bank syariah.[26]
Sebagaimana diuraikan pada tulisan sebelumnya, sumber utama modal bank syariah adalah modal inti (core capital) dan kuasi ekuitas. Modal inti adalah modal yang berasal dari para pemilik bank, yang terdiri dari modal yang disetor oleh para pemegang saham, cadangan dan laba ditahan. Sedangkan kuasi ekuitas adalah dana-dana yang tercatat dalam rekening-rekening bagi hasil (mudharabah). Modal inti inilah yang berfungsi sebagai penyangga dan penyerap kegagalan atau kerugian bank dan melindungi kepentingan para pemegang rekening titipan (wadi'ah) atau pinjaman (qard), terutama atas aktiva yang didanai oleh modal sendiri dan dana-dana wadi'ah atau qard.
Sebenarnya dana-dana rekening bagi hasil (mudharabah) dapat juga dikategorikan sebagai modal, yang oleh karenanya disebut kuasi ekuitas. Namun demikian rekening ini hanya dapat menanggung resiko atas aktiva yang dibiayai oleh dana dari rekening bagi hasil itu sendiri. Selain itu, pemilik rekening bagi hasil dapat menolak untuk menanggung resiko atas aktiva yang dibiayainya, apabila terbukti bahwa resiko tersebut timbul akibat salah urus (mis management), kalalaian atau kecurangan yang dilakukan oleh manajemen bank selaku mudharib. Dengan demikian sumber dana ini tidak dapat sepenuhnya berperan dalam fungsi permodalan bank.
Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan dewasa ini, sangat ditentukan oleh dua hal pokok, yaitu (1) track record perbankan dalam melayani dan menjamin dana simpanan masyarakat. (2) kemampuan resistensinya terhadap gejolak badai krisis moneter dan ekonomi, yang di pertengahan Juli 1997 menjadi awal pencerminan, manakah perbankan yang benar-benar solid dan mana yang bubble (kelihatan kuat tapi nyatanya keropos).
Bagaimana dengan perbankan syari'ah? Di sinilah perlunya database untuk dikomunikasikan/ disosialisaikan kepada masyarakat umum, bahwa ternyata terbukti perbankan syari'ah resisten (punya daya tahan) terhadap badai krisis moneter/ekonomi. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara mengkomunikasikan "value" keuntungan kompetitif ini ke tengah-tengah masyarakat? Hal inilah yang saya maksudkan perlunya dikembangkan strategi Model Hovland (Saefuddin Azwar, 2002: 63) yaitu strategi komunikasi persuasif untuk merubah sikap enggan masyarakat terhadap perbankan syari'ah.
Dalam model ini, ada tiga syarat yang harus terpenuhi jika informasi yang ingin disampaikan efektif membentuk perubahan sikap masyarakat. Pertama, komunikasi tersebut bisa berhasil jika isi komunikasi bisa diperhatikan, sehingga sedapat mungkin masyarakat mau mengikuti apa yang menjadi tujuan si komunikator (perbankan syari'ah). Kedua, komunikasi bisa berhasil jika komunikasi tersebut bisa dipahami, agar masyarakat penerima komunikasi bisa langsung paham dan bertindak sesuai dengan pesan komunikator-seperti konsepnya AIDA (Attention, Interest, Desire, Action) dalam strategi pemasaran produk baru. Ketiga, komunikasi tersebut bisa berhasil jika isi komunikasinya bisa diterima oleh masyarakat. Semua persyaratan itu perlu diterjemahkan dalam kerangka mengantisipasi bahaya simpang-siurnya informasi yang telah merugikan eksistensi perbankan syari'ah. Juga bisa digunakan untuk menjembatani kelemahan dalam sosialisasi produk-produk perbankan syari'ah.
Kendala yang bisa muncul dalam strategi model ini adalah tingginya biaya produksi saluran komunikasi, baik melalui media cetak maupun elektronik. Bahkan ada yang mengatakan kepada saya, biaya pembuatan spot iklan di televisi seperti Bank Mandiri misalnya, mencapai kurang lebih Rp 5 milyar. Oleh karena itu, diperlukan usaha kreatif lewat saluran-saluran lain. Bisa melalui relationship strategy-untuk mengganti transaction strategy yang selama ini dipakai-yaitu strategi silaturrahmi dan bersahabat, yang tujuannya membentuk tali hubungan baik dengan masyarakat umum. Sarananya lewat personal selling, pengajian dakwah, road show, kegiatan-kegiatan sosial, mengadakan kursus, training, diskusi, seminar, simposium, atau bahkan lewat paradigma science (ilmu pengetahuan formal) di perguruan tinggi-perguruan tinggi. Pilihan cara-cara tersebut bisa dimaksimalkan sesuai dengan target yang ingin dicapai.
Lewat cara-cara tersebut, di samping ada unsur pendidikannya yang lebih penting adalah terpenuhinya komunikasi persuasif dengan publik. Cara ini harus lebih dulu menafikan batas-batas Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Sehingga tujuan utama mengintrodusir produk dan jasa perbankan syari'ah ke masyarakat umum bisa terpenuhi. [27]
Optimalisasi Mutu
Selama ini, perhatian terhadap perbankan syari'ah di Indonesia semakin mendapat momentum untuk ditingkatkan terus-menerus. Kondisi ini membuat semua pihak yang terkait bekerja keras untuk membenahi dan memperbaiki apa saja yang dianggap masih menjadi kendala. Dalam kaitan ini, perlu kiranya upaya perbaikan dan pengembangan perbankan syari'ah harus diarahkan kepada optimalisasi mutu. Artinya starting point pengembangan perbankan syari'ah di Indonesia harus lebih dahulu memperhatikan perbaikan mutu. Ada dua hal pokok perbaikan mutu yang bisa dilakukan di perbankan syari'ah terutama di Indonesia. Pertama, perbaikan mutu sistem. Perbaikan mutu sistem ini diarahkan kepada dua hal utama, (1) perbaikan kelengkapan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum utama dan kuat dalam membantu mendukung pengembangan perbankan syari'ah. (2) perbaikan pada body of science ilmu ekonomi Islam yang mencakup lembaga keuangan Islam, manajemen Islam, maupun Akuntansi Islam. Jika dua hal ini bisa dioptimalkan secara baik, maka persoalan mutu sistem perbankan syari'ah tidak lagi menjadi hambatan. Kedua, perbaikan mutu manajemen institusi.
Hal ini menjadi sangat mendesak untuk dilakukan, mengingat persaingan dengan perbankan konvensional dewasa ini semakin sengit. Perbaikan mutu manajemen ini meliputi tiga hal:
(1) perbaikan mutu sumber daya manusianya (quality of human resources). Dalam hal ini, perlu diingat kembali bahwa kebutuhan dalam meningkatkan kualitas dan mutu sumber daya manusia di perbankan syari'ah memerlukan kerja sama dengan lembaga-lembaga terkait. Seperti institusi pendidikan perbankan, perguruan tinggi agama Islam, misalnya UIN/IAIN, STEI, UII, STAIN, STIS, lembaga-lembaga konsultan, dan lain-lain. Salah satu tujuan utama yang ingin dicapai dalam kerja sama ini adalah membentuk strategic linkage di perbankan syari'ah untuk meminimalisir kurangnya tenaga ahli. Kerja sama ini dilakukan melalui peningkatan pelatihan-pelatihan, kursus, maupun workshop perbankan syari'ah.
(2) Mutu kondisi keuangannya (quality of financial resources). Secara garis besar (awam) kuatnya institusi keuangan seperti bank, dapat dilihat dari kualitas total asset yang dimiliki. Jika total asset Bank Syariah keseluruhan di Indonesia hanya 0,22 persen atau Rp 2,3 triliun dibanding total asset Bank Konvensional yang mencapai Rp 1.015,4 triliun (data BI per Agustus 2001), maka kebutuhan untuk meningkatkan jumlah penerimaan pihak ketiga perlu mendapat prioritas untuk ditingkatkan terus-menerus. Hal ini bisa disiasati dengan meningkatkan pelayanan dan inovasi produk-produk yang dibutuhkan oleh masyarakat, misalnya Islamic Credit Card, Islamic Ready Cash, Gadai Emas Syari'ah, Islamic Asset Securitization, dan lain-lain.
(3) Mutu jaringan pemasarannya (quality of marketing resourses). Bagaimanapun kuat dan tangguhnya institusi perbankan, jika tidak didukung dengan jaringan pemasaran yang memadai, maka akan sia-sia. Seperti halnya punya barang bagus tapi tidak pernah dipamerkan ke khalayak, akibatnya orang hanya bisa menduga-duga, apakah barang itu bagus ataukah sebaliknya.
Pengaturan dan Control Perbankan
Pada dasarnya argumentasi pentingya pengaturan dan pengawasan perbankan syariah sama dengan perbankan konvensional. Secara mendasar terdapat dua perbedaan penting antara bank syariah dengan bank konvensional. Pertama adalah adanya tuntutan jaminan bahwa dalam kegiatan usahanya, bank tidak melanggar ketentuan syariah; dan kedua sebagai konsekuensi dari pelarangan instrumen bunga dan digantikan dengan sistem bagi hasil (baik pada sisi aktiva maupun passiva) maka karakteristik risiko dan sifat hubungan antara nasabah dengan bank terlihat dari akad-akad perbankan syariah. Kedua perbedaan pokok ini mengakibatkan perbedaan yang mendasar dalam struktur corporate governance dan sistem pengawasan perbankan syariah.
Menurut Harisman[28] –kepala Biro Syariah BI-- alasan pokok dari pentingnya pengaturan dan pengawasan perbankan (tak terkecuali perbankan syariah) adalah: (i) posisi penting perbankan dalam sistem keuangan; (ii) potensi terjadinya permasalahan sistemik akibat kegagalan usaha bank (bank runs), (iii) sifat dari kegiatan usaha bank di mana hampir seluruh asetnya berbentuk alat likuid dan tingkat kewajiban finansial (leverage) yang sangat tinggi, dan (iv) adanya situasi ketidakmampuan nasabah untuk memonitor secara terus menerus kinerja bank dan diikuti potensi terjadinya kecurangan (moral hazard). Jadi pelaksanaan pengaturan dan pengawasan perbankan adalah dalam rangka untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, agar sistem perbankan dapat bermanfaat secara oprtimal bagi perekonomian, dan melindungi kepentingan nasabah.
Pengawasan bank dilimpahkan kepada otoritas perbankan. Fungsi otoritas perbankan tersebut diformalkan melalui peraturan perundangan-undangan. Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur dan mengawasi bank, BI menetapkan peraturan (power to regulate), memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha bank (power to license), melaksanakan pengawasan bank (power to control) dan mengenakan sanksi terhadap bank (power to impose sanction).
Pengawasan yang dilakukan BI meliputi pengawasan langsung (on-site supervision) dan tidak langsung (off-site supervision). BI mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan BI. BI melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan. BI dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian BI transaksi tersebut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan, sehingga membahayakan sistem perbankan dan perekonomian nasional.
Pengawasan dan Pembinaan Bank Syariah
Dalam menjalankan tanggung jawabnya, pengawas bank selain memenuhi prinsip-prinsip profesionalisme juga semestinya memiliki suatu keyakinan bahwa Allah senantiasa mengawasi (faith-driven conduct atau Waskat). Menurut nilai-nilai Islami unsur profesionalisme pengawas bank syariah terdiri dari sifat siddiq (jujur), tabligh (menyampaikan kebenaran dan senatiasa membina), amanah (bertang-gungjawab), dan fathonah (memiliki skill dan pengetahuan yang mumpuni) yang dapat disingkat STAF.
Nilai-nilai islami yang pada dasarnya mendorong akuntabititas antara lain adalah: (1) ma’iyatullah dan muraqabah, yaitu keyakinan bahwa Allah SWT senantiasa berada dekat dengan kita dan mengawasi setiap tindak tanduk yang dilakukan baik yang terlaksana maupun yang tersimpan di hati (ii) muhasabah, perlu mawas diri bahwa kegiatan pengawasan yang dilakukan adalah menilai pihak lain namun perlu disadari bahwa amalan kita juga selalu dinilai oleh Allah SWT, (iii) mas’uliyah, setiap yang dilakukan akan dimintakan pertanggung jawaban di akhirat kelak. Sejalan dengan hal itu pengawas dan pembina bank perlu bersikap hanif (cenderung kepada kebenaran) serta aktivitas pengawasan yang dilakukan adalah dalam rangka mencari kebenaran dan saling mengingatkan (tabayyun wa tausiyyah).
Kemaslahatan dari sistem yang diajarkan dalam syariah Islam semestinya dapat meningkatkan integritas pengawasan dan pembinaan bank syariah. Oleh karena itu upaya formulasi secara sistematis tentang etika pengawasan perbankan syariah, perlu dikembangkan dengan baik
Pada bank konvensional, sistem pengelolaan yang baik dapat dikembangkan dengan memperjelas fungsi, kewenangan dan pola hubungan antara pemegang saham (dewan komisaris) dan pengurus bank. Sedangkan pada perbankan syariah, agar semua kepentingan para pihak dapat terpenuhi dengan baik, struktur pengelolaan dan pengawasan akan melibatkan empat pihak, yaitu: pemegang saham (dewan komisaris), pengurus bank, Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan/atau Dewan Syariah Nasional (DSN), serta nasabah deposan.[29]
Masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda. Karena itu suatu sistem pengelolaan bank syariah yang baik, mempersyaratkan adanya pengaturan yang jelas tentang batasan hak, kewenangan dan kewajiban dari setiap unsur tersebut, untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan. Selain itu juga, agar tidak terjadi dominasi kepentingan salah satu pihak dengan mengabaikan kepentingan pihak lain serta pencapaian tujuan perusahaan yang hanya mengakomodasi beberapa pihak dan mengabaikan kepentingan pihak lainnya.
Pengawasan bank syariah (termasuk pula pengaturannya) pada dasarnya memiliki dua sistem, yaitu pengawasan dari aspek: (i) kondisi keuangan, kepatuhan pada ketentuan perbankan secara umum dan prinsip kehati-hatian bank, dan (ii) pemenuhan prinsip syariah dalam kegiatan operasional bank. Berkaitan dengan hal itu maka struktur pengawasan perbankan syariah lebih bersifat multilayer yang secara ideal akan terdiri dari : (1) Sistem Pengawasan Internal, yang memiliki unsur-unsur; RUPS, Dewan Komisaris, Dewan Audit, DPS, Direktur Kepatuhan, SKAI – Internal Syariah Reviewer, dan (2) Sistem Pengawasan Eksternal, yang terdiri dari unsur BI, Akuntan Publik (termasuk external syariah auditor), DSN dan Stakeholder/Masyarakat Pengguna Jasa. Sistem pengawasan internal lebih bersifat mengatur ke dalam dan dilakukan agar ada mekanisme dan sistem kontrol untuk kepentingan manajemen. Sedangkan pengawasan eksternal pada dasarnya untuk memenuhi kepentingan nasabah dan kepentingna publik secara umum yang dalam hal ini dilakukan oleh BI dan DSN. Secara umum peran dan tanggung jawab BI lebih kepada pengawasan aspek keuangan, sedangkan jaminan pemenuhan prinsip syariah adalah tanggung jawab dan kewenangan DSN dengan DPS sebagai perpanjangan tangannya. Dalam hal ini tentu saja kompetensi dan kemampuan pemahaman prinsip syariah tetap wajib dimiliki oleh pengawas bank dari BI.
Kerjasama antara BI dengan DSN juga dilakukan dalam pengawasan terhadap produk bank syariah. Sedangkan untuk pengawasan operasional bank syariah, BI bekerja sama dengan DSN yang dalam hal ini dilakukan oleh DPS. Hal ini sejalan dengan fungsi dan peran DSN yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia dengan Surat Keputusannya No.Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI Masa Bhakti Th. 2000–2005. SK itu antara lain menyebutkan, DSN memberikan tugas kepada DPS untuk (1) melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah, (2) mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN; (3) melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran; (4) merumuskan permasalahan yang memerlukan pembahasan dengan DSN.
Karena pengembangan perbankan syariah masih dalam tahap awal, maka sistem dan mekanisme pengawasan perbankan syariah masih belum lengkap dan perlu banyak penyempurnaan. Oleh karena itu, upaya pengembangan pengawasan perbankan syariah oleh BI akan terus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengembangkan dan menyempurnakan tools dan sistem pengawasan, serta meningkatkan kompetensi dan mengembangkan etika pengawasan. Satu langkah penting yang telah dilakukan adalah dihasilkannya PSAK No.59 tentang Standar Akuntansi Keuangan Perbankan Syariah yang akan diikuti dengan penerbitan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah (PAPSI) dan Pedoman Audit Syariah, serta format pelaporan bank syariah. Secara teknis di BI juga dikembangkan pedoman pengawasan dan pemeriksaan bank syariah dan ke depan akan dilakukan kajian untuk implementasi sistem pengawasan berbasis risiko dan penerapan real-time supervision.
Perbankan Syariah & Kaum Dhuafa
Perbankan konvensional bukanlah jenis usaha yang ramah pada kaum ekonomi lemah. Pada umumnya, perbankan konvensional tidak dibimbing untuk dapat memberdayakan masyarakat miskin, sekalipun kebijakan pemerintah dalam pembangunan selalu berusaha untuk mengangkat nasib kelompok miskin. Memang banyak bank komersial yang memberikan pinjaman-pinjaman dan kredit kepada masyarakat kecil, namun jumlah yang diberikan jauh lebih kecil dari apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh mereka.[30]
Dengan adanya bank-bank syariah maka akan banyak dana yang dapat diperoleh untuk kepentingan sosial. Bahkan hingga sekarang masih banyak yang melihat bahwa bank syariah merupakan tempat yang baik untuk mendapatkan dana-dana untuk tujuan kebajikan semacam renovasi masjid, bantuan yatim piatu dan santunan fakir miskin. Ini semua merupakan dampak dari potret syariah di mata masyarakat awam kaum muslimin. Gambaran syariat Islam yang mereka tangkap didominasi oleh aspek ubudiyyah dan kebajikan (charity). Mereka kurang atau tidak menyadari sama sekali aspek muamalat yang mestinya melandasi semua urusan pergaulan hidup mereka; apakah sosial, bisnis, perdagangan, keuangan, dan hubungan internasional.
Meskipun demikian sesungguhnya perbankan syariah tidak lain adalah perbankan yang dikelola berdasarkan ajaran-ajaran syariat Islam. Sedangkan tujuan utamanya untuk mendapatkan keuntungan yang halal bahkan juga memaksimalkan keuntungan itu. Oleh karena itu segala aktivitas yang dilakukan oleh bank syariah pada hakikatnya berorientasi kepada laba. Demikian juga dengan hubungan-hubungan komersial dengan pihak-pihak lain dilandasi oleh motif-motif komersial.
Melihat kenyataan demikian, sulit kiranya mengharapkan sentuhan bank-bank syariah untuk dapat berperan optimal dalam membantu meringankan beban kaum duafa. Di samping itu ukuran (size) bank-bank syariah dibandingkan dengan bank-bank konvensional juga tidak sebanding. Hingga sekarang, berdasarkan data dari Bank Indonesia, total aset bank-bank syariah masih berada pada level 0,02 % dari keseluruhan aset perbankan konvensional. Dengan ukuran yang begitu kecil, sulit rasanya mengharapkan peran signifikan dari lembaga-lembaga ini terutama jika dihubungkan dengan pemberdayaan masyarakat lemah. Kesulitan ini dipertegas dengan tidak meratanya distribusi lokasi cabang-cabang bank syariah yang kini sedang berkembang.
Perkembangan lembaga keuangan syariah sampai saat ini belumlah menggembirakan dengan skala yang lebih kecil dari lembaga keuangan konvensional. Hingga sekarang jumlah BPR Syariah di seluruh Indonesia sekitar 83 buah tersebar di beberapa provinsi. BMT kini jumlahnya telah mencapai lebih dari 1000 unit. Sayangnya, BMT tidak didukung oleh tenaga-tenaga profesional yang andal sehingga banyak yang berguguran di tengah perjalanannya.
Ideologi Setan
Sosialisme dan kapitalisme saat ini telah menjadi paham yang sangat dominan di dunia. Hal ini terjadi sebagai akibat dominasi Barat (baca: AS dan Eropa) dan cina terhadap dunia, baik secara intelektual, politik, maupun ekonomi. Bahkan, sekulerisme dan kapitalisme kini telah mempengaruhi para pengambil kebijakan di negara-negara berkembang, yang mayoritas muslim, sehingga mereka kemudian berusaha mengadopsi dan mengimplementasikan paham tersebut secara total dan menyeluruh.[31]
Kalau kita mau jujur, ternyata sistem kapitalisme tidak mampu menciptakan kesejahteraan secara menyeluruh. Ia justru menciptakan kesenjangan yang dahsyat antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin. Terjadi kondisi ketidakseimbangan (inequity) dan penumpukan kekayaan di tangan segelintir kelompok.
Negara tidak memiliki hak untuk mengekang setiap individu di dalam menjalankan berbagai aktivitasnya. Keadaan ini diperparah oleh tidak adanya nilai moral yang mengarahkan aktivitas ekonomi setiap individu.
Distribusi pendapatan dan kekayaan tidak secara merata. Kegagalan asumsi-asumsi diatas bisa saja merupakan akibat terjadinya ketidakseimbangan market strategy dan membuktikan ketidakmampuan sistem tersebut di dalam memperlihatkan perubahan struktural yang radikal yang diperlukan untuk merealisasikan pertumbuhan ekonomi berdasarkan prinsip keadilan dan stabilitas. Bagi negara-negara Muslim, kegagalan sistem kapitalisme seharusnya semakin menyadarkan mereka akan pentingnya kembali pada Alquran dan Sunnah.
Perbankan Syariah Kini dan Esok
Perbankan sebagai lembaga intermediasi, antara surplus spending unit dengan deficit spending unit, memiliki posisi strategis dalam perekonomian nasional. Dengan demikian, upaya pengembangan perbankan nasional termasuk perbankan syariah perlu dilakukan secara berkesinambungan untuk meningkatkan kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi. Pengembangan perbankan syariah di Indonesia tidak hanya konsekuensi dari UU No. 10/1998 dan UU No. 23/1999, tetapi juga merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya penyehatan sistem perbankan yang bertujuan meningkatkan daya tahan perekonomian nasional. Krisis ekonomi yang terjadi sejak akhir 1997 menunjukkan bahwa bank yang beroperasi dengan prinsip syariah relatif dapat bertahan di tengah gejolak nilai tukar dan tingkat suku bunga yang tinggi. Kenyataan tersebut ditopang oleh karakteristik operasi bank syariah yang melarang: bunga (riba), transaksi yang bersifat tidak transparan (gharar), dan spekulatif (maysir).
Milestone Perkembangan Perbankan Syariah IndonesiaSumber: Tazkiaonline.com <http://www.tazkiaonlie.com/>, Harisman, “Perbankan Syariah di Indonesia : Sejarah, Kini, dan Strategi Pengembangan” Monday, 03 June 2002
Sejarah perkembangan perbankan syariah di Indonesia secara formal dimulai dengan Lokakarya MUI mengenai perbankan pada tahun 1990, yang selanjutnya diikuti dengan dikeluarkannya UU No 7/1992 tentang perbankan yang mengakomodasi kegiatan bank dengan prinsip bagi hasil. Namun, harus diakui bahwa sebelum tahun 1992 telah terdapat beberapa usaha pembiayaan yang menggunakan pola bagi hasil sebagai suatu eksperimentasi. Pendirian Bank Muamalat Indonesia yang menggunakan pola bagi hasil pada tahun 1992 menandakan dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking system) di Indonesia. Selama periode 1992-1998 hanya terdapat satu bank umum syariah dan beberapa bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) sebagai pelaku industri perbankan syariah. Krisis keuangan yang melanda Indonesia sejak akhir 1997 menunjukkan bahwa sistem pembiayaan berdasarkan prinsip-prinsip syariah mampu bertahan dan memiliki kinerja yang relatif lebih baik. Hal ini minimal terlihat pada angka NPFs (Non Performing Financings) yang lebih rendah dibanding sistem konvensional, tidak adanya negative spread, dan konsistensinya dalam menjalankan fungsi intermediasi.
Pada tahun 1998, dikeluarkan UU No 10/1998 sebagai amandemen dari UU No. 7/1992 tentang Perbankan yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi keberadaan sistem perbankan syariah. Selanjutnya, pada tahun 1999 dikeluarkan UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia yang memberikan kewenangan bagi Bank Indonesia untuk dapat pula mengakomodasi prinsip-prinsip syariah dalam pelaksanaan tugas pokoknya. Kedua UU ini mengawali era baru dalam perkembangan perbankan syariah di Indonesia yang ditandai dengan pertumbuhan industri yang cepat. Jumlah bank tumbuh dengan pesat dari hanya satu bank umum syariah dan 78 BPRS pada tahun 1998 menjadi 2 bank umum syariah, 3 UUS, dan 81 BPRS pada akhir tahun 2001. Jumlah kantor cabang dari bank umum syariah dan UUS tumbuh dari 26 menjadi 51.
Aset perbankan syariah juga tumbuh dengan pesat dari Rp 479 milyar pada tahun 1998 menjadi Rp 2.718 milyar pada tahun 2001. Meskipun kontibusinya terhadap total aset perbankan nasional masih relatif kecil (penetrasi aset 0,26%), aset perbankan syariah mampu mencapai pertumbuhan 74% per tahun selama periode 1998-2001. Dana pihak ketiga meningkat dengan cepat dari Rp 392 milyar menjadi Rp 1.806 milyar dan rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga hanya turun sedikit dari 117% pada tahun 1998 menjadi 113% pada tahun 2001.
Aplikasi Perbankan Islam
Posisi sistem perbankan Islam kini sedang mengalami siklus menaik dan mempunyai keberagaman produk dan sistem operasional yang sangat khas dibandingkan produk-produk dan sistem konvensional. Oleh karena itu, penggunaan sistem keuangan syariah sebagai sarana diversifikasi produk dan kendaraan untuk menambah pangsa pasar adalah opsi yang sangat rasional. Namun perlu juga dicatat bahwa motif utama berbisnis dalam Islam bukanlah keuntungan atau dominasi pasar, melainkan satu cara untuk membawa kemakmuran kepada semua. Meskipun kita menyambut dengan tangan terbuka masuknya bank asing, dengan motif keuntungannya, kita juga berharap agar bank asing tersebut juga mengadopsi ruh dari cara-cara bermuamalah umat Islam, dalam arti yang luas. Dengan demikian, bank asing syariah akan bisa memposisikan dirinya sebagai bank yang tetap mempunyai imej kreatif dan inovatif, di samping bisa mempertahankan keberadaannya di pasar lokal. Sebagai contoh kita bisa melikhat profil HSBC di Malaysia. HSBC adalah salah satu bank konvensional pertama yang berani meluncurkan produk “kartu kredit Islam” bekerjasama dengan Master Card, yaitu Amanah Charge Card pada tahun 2000.
Meskipun konsep kartu kredit Islam sendiri masih diperdebatkan, usaha ini patut dihargai mengingat sangat sedikit lembaga keuangan yang berani mengambil resiko begini. Keberanian HSBC ini memang cukup membuahkan hasil, dengan jumlah nasabah yang semakin meningkat. Malahan Bank Islam Malaysia Berhad sendiri termasuk follower HSBC dalam hal uang plastik ini. Bank Islam baru meluncurkan Islamic Credit Cardnya pada penghujung tahun 2001, dengan menggandeng Visa.
Masuknya bank asing ke dalam sistem perbankan syariah, akan menumbuhkan suasana dan kompetisi yang sehat dan menguntungkan. Semua bank syariah yang ada akan dipacu untuk terus-menerus menelurkan inovasi baru, yang tentunya harus sesuai syariah. Kompetisi ini akan menciptakan iklim usaha yang dinamis dan inovatif.
Di lain pihak, perangkat pendukung sistem perbankan syariah, seperti Dewan Syariah Nasional dan Bank Indonesia, juga dituntut untuk lebih progresif dalam memonitor pasar. Artinya tidak hanya meng-amini setiap produk yang direka oleh bank-bank syariah, hanya karena mengejar target jangka pendek. Di samping itu, BI juga harus terus-menerus menjaga agar praktik perbankan yang prudent dan taat syariah dipatuhi oleh semua pihak, asing maupun lokal. Selain itu dengan adanya “HSBC Syariah”, “CitiSyariah”, atau lain-lainnya maka customer base perbankan syariah akan semakin berkembang dan beragam. Ini dimungkinkan dengan adanya segmentasi pasar yang sangat berbeda antara bank-bank asing dan bank lokal. Bank asing akan lebih mentargetkan nasabah-nasabah bonafid dan kelas atas.
Dalam kasus OCBC (Malaysia), misalnya, hampir 80% nasabah Islamic windows-nya adalah Chinese non-Muslim. Artinya, OCBC (Oversea-Chinese Banking Corporation) sebagai bank yang membawa identitas ke-Cinaan, sangat wajar jika mayoritas nasabahnya adalah Cima, termasuk Islamic windows-nya. Dengan demikian, sekiranya “HSBC Syariah” menjadi kenyataan, maka industri perbankan syariah akan semakin diversified dan menjangkau berbagai lapisan masyarakat; lintas budaya, lintas agama. Dalam hal ini kita mengharapkan agar lapisan masyarakat Indonesia yang selama ini tidak tersentuh dengan sistem syariah akan bisa menikmati kelebihan-kelebihan mudarabah, musyarakah, ijarah, dan sebagainya.
Ramai mungkin yang tidak menyetujui adanya “elemen” asing dalam sistem keuangan Islam, termasuk adanya pemain yang notabene bukan Islam. Namun penulis menilai bahwa sistem keuangan, wa bil-khusus perbankan, syariah yang universal ini harus juga dinikmati oleh semua umat manusia. Bukankah Islam itu sendiri adalah rahmatan lil-‘alamin.
Faktor-faktor itu harus difasilitasi dengan penciptaan berbagai infrastruktur, mulai dari perangkat hukum, seperti kelengkapan fatwa-fatwa syariah, peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi syariah, ketentuan tentang penciptaan instrumen moneter dan instrumen pasar keuangan syariah, sampai kepada kebijakan penyeimbangan distribusi kegiatan ekonomi, sumber dana, sumber daya insani dan sumber daya lainnya.
Berikut adalah beberapa pendapat yang mungkin dapat berguna bagi perkembangan Pasar Modal Syariah di Indonesia: · Dalam pembentukan tim pengawasan Pasar Modal Syariah, masing-masing pihak birokrat, ulama dan praktisi yang mempunyai idealisme yang sama, harus sama-sama ridha dan ikhlas dipimpin oleh seseorang yang dianggap paling mempunyai pengetahuan dan pengalaman lebih baik di bidang Pasar Modal Syariah dibanding lainnya. Lembaga Pemeringkat Efek harus mulai mempertimbangkan variabel social responsibility suatu emiten efek, sebagai upaya pembelajaran mempertimbangkan variabel syariah. Upaya pembersihan dan pengkoreksian atas segala sesuatunya yang terkait dengan Pasar Modal Syariah harus terus dilakukan bukan sebagai upaya yang kontraproduktif terhadap Pasar Modal Syariah, tetapi sebagai upaya antisipatif atas labelisasi Islam secara sembarangan dalam penerbitan instrumen keuangan.
Faisal Afifi[32] menyatakan bahwa , munculnya prilaku fiksasi maupun regresi bangsa kita di dalam proses perkembangan pemahaman ekonomi Islam semakin terlihat dengan mencuatnya ketidakmampuan Insan Perguruan Tinggi sewaktu mengurai sistem berfikir yang taat azas antara agama. Dari fenomena –fenomena diatas dapatlah ditarik benang merah bahwa masih adanya kesenjangan antara pemahaman terhadap logika agama, moralita/etika, dan muamalat dengan pemahaman terhadap logika disiplin keilmuan yang ditekuninya.[33] Pertanyaannya sekarang, mampukah sistem ekonomi Islam menciptakan tatanan dunia yang lebih adil? Tentu saja butuh per-juangan yang tidak bersifat temporal saja, akan tetapi tentunya dibutuhkan seperangkat sistem yang harus saling menunjang atau dengan istilah lainnya hubungan kausalitas yang saling berhubungan serta dinamis.
Strategi Pengembangan & Tantangan
Ekonomi Syariah 2003
Sampai dengan April 2002, industri perbankan syariah memiliki 88 institusi (2 bank umum syariah, 5 bank umum konvensional yang memiliki cabang syariah, dan 81 BPRS) dengan jumlah jaringan kantor (network) sebanyak 136 yang tersebar di 20 provinsi. Perbandingan beberapa indikator antara perbankan syariah terhadap total perbankan dapat dilihat pada tabel berikut (data Maret 2002 dalam trilyunan rupiah).
Keterangan
Perbankan Syariah
Total Perbankan
Nominal
Pangsa
Total Aset
2,8
0,26 %
1064,6
Dana Pihak Ketiga
1,8
0,23 %
783,4
Pembiayaan
2,2
0,61 %
350,6
LDR (FDR)
117,0 %
44,8 %
NPL (NPF)
4,4 %
12,8 %
Dalam pengembangan perbankan syariah terdapat enam permasalahan utama yang perlu segera diatasi, yaitu: - kerangka pengaturan perbankan syariah yang belum lengkap - jaringan kantor yang terbatas - kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai produk dan jasa perbankan syariah - institusi pendukung yang belum lengkap dan efektif - perlunya perbaikan kinerja bank syariah yang berkesinambungan - kemampuan untuk memenuhi standar keuangan syariah internasional.
Dalam pengembangan industri perbankan syariah, proses penyusunan kebijakan oleh otoritas perbankan perlu dipayungi oleh sekumpulan paradigma kebijakan. Hal tersebut diperlukan untuk menjamin konsistensi peran dan tugas otoritas perbankan dalam pengembangan perbankan syariah. Paradigma kebijakan yang diperlukan untuk menjamin konsistensi peran dan tugas otoritas perbankan dalam pengembangan perbankan syariah adalah market driven, fair teatment, gradual and sustainable approach, serta secara konsisten comply to sharia principles dan international best practices.
Berdasarkan misi, visi, dan tujuan pengembangan perbankan syariah, maka strategi pengembangan perbankan syariah harus ditujukan untuk mengatasi persoalan-persoalan pada demand side dan supply side perbankan syariah dengan tetap menggunakan paradigma kebijakan sebagai koridornya. Strategi tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa keberhasilan pertumbuhan industri perbankan syariah tergantung pada pengelolaan terhadap sisi permintaan dan sisi penawaran produk dan layanan perbankan syariah.
Dalam penetapan kebijakan-kebijakan strategis, perlu disadari bahwa kegiatan pengembangan perbankan syariah tidak dapat dilaksanakan sekaligus dalam satu tahapan. Dengan demikian, perlu ditetapkan fokus strategi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang guna mencapai sasaran yang sesuai dengan rentang waktunya.
Sejumlah analis memprediksikan prospek ekonomi Indonesia tahun 2003 dengan pandangan pesimistis. Perkiraan itu didasarkan atas beberapa alasan antara lain karena beberapa indikator penting pertumbuhan ekonomi seperti investasi, ekspor- impor dan konsumsi domestik cenderung menurun tajam. Kepercayaan pasar internasional sangat rendah dan kondisi ekonomi global juga masih lesu. Fungsi intermediasi perbankan masih belum berjalan baik, dibuktikan dengan LDR yang rendah. Agaknya berbagai upaya Pemerintah untuk penyehatan perbankan itu justru menimbulkan berbagai masalah baru karena masih banyak potensi dampak negatif.
Bagaimana jajaran ekonomi syariah menghadapi tantangan itu? Tidak ada lain kecuali harus secara konsisten (istiqamah) menerapkan prinsip-prinsip syariah secara benar dan murni. Tidak sebagaimana perbankan konvensional, fungsi intermediasi perbankan syariah telah berjalan dengan baik FDR perbankan syariah telah mencapai 120% sementara LDR perbankan konvensional masih di bawah 45%. Pengelolaan bisnis harus semakin baik (good governance), profesional dan selalu memelihara serta melaksanakan prinsip-prinsip kehati-hatian dan meningkatkan kinerja perusahaan, menyampaikan informasi secara jujur dan transparan. Tentu saja jajaran pelaku ekonomi syariah tidak dapat berjalan sendiri. Pelaksanaan sistem ekonomi syariah harus memperoleh dukungan dari berbagai pihak, bukan saja para pelaku ekonomi atau pihak-pihak yang bergerak atau terkait dengan kegiatan ekonomi, tetapi juga dukungan para ulama, cendekiawan, pemerintah dan masyarakat luas. Dukungan pemerintah terhadap kegiatan ekonomi syariah dapat diwujudkan dalam program pembangunan, khususnya yang bertujuan pemberdayaan ekonomi domestik, seperti pembangunan agribisnis dan UKM, mulai dari sektor pertanian, industri penunjang sektor pertanian, pengembangan teknologi pertanian, pembatasan monopoli, dan perluasan lapangan kerja.
Sebagian proyek-proyek pemerintah dapat ditata dengan mengunakan mekanisme syariah. Struktur keuangan atas proyek-proyek pembangunan yang berbasis syariah itu akan memperkaya piranti keuangan syariah dan membuka partisipasi yang lebih luas dari para pelaku pasar, tidak terkecuali non muslim, karena pasar tersebut bersifat terbuka. Keberhasilan sistem ekonomi ini tidak saja ditentukan oleh skill, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor mental spiritual para pelakunya, seperti ketaqwaan, kejujuran (shiddiq), niat suci, kemauan (’azam ), ketekunan (istiqamah), tawakkal, dzikrullah, toleransi dan syukur, zakat dan infaq, qana’ah dan silaturrahim.
Faktor-faktor itu harus difasilitasi dengan penciptaan berbagai infrastruktur, mulai dari perangkat hukum, seperti kelengkapan fatwa-fatwa syariah, peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi syariah, ketentuan tentang penciptaan instrumen moneter dan instrumen pasar keuangan syariah, sampai kepada kebijakan penyeimbangan distribusi kegiatan ekonomi, sumber dana, sumber daya insani dan sumber daya lainnya.
Namun demikian, sekali lagi bahwa untuk memasyarakatkan ekonomi Islam terutama bank syariah sangat diperlukan adanya kerja sama. Bisa kita simak bagaimana banj syaraih kurang populer dibanding bank konvensional sehingga aset bank syariah secara nasional hanya 0,24 persen dibanding bank konvensional. ''Karena itu, penulis menyarankan agar Bank Indonesia dan MUI melakukan sosialisasi tentang bank syariah, apalagi BI sudah memiliki cetak biru bank syariah Indonesia 2002-2011. Selain itu, MUI juga telah menyatakan bunga bank (riba) adalah haram setelah bank syariah berdiri di Indonesia. Dalam kesempatan terpisah, Ketua Dewan Syarian Nasional (DSN) KH Ma'ruf Amin mengakui masih kurangnya sosialisasi ekonomi syariah, khususnya perbankan syariah. ''Sosialisasi dan promosi ekonomi syariah masih amat kurang. Karena itu, DSN bersama dengan elemen-elemen yang terkait ekonomi syariah akan mencanangkan Gerakan Ekonomi Syariah (GES) tingkat nasional pada pertengahan April 2003,'' kata Ma'ruf Amin kepada Republika baru-baru ini.
Pihak-pihak terkait yang akan bekerjasama dengan DNS untuk menyukseskan GES antara lain perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, ritel syariah, dan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). Selain itu, kalangan perguruan tinggi, Pemda, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Penutup
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa:
a. Perbankan Syariah merupakan Instrumen dari ekonomi Islam. Perbankan syariah merupakan suatu fenomena yang menarik pada masa Indonesia ditengah badai krisis ekonomi adalah bangrutnya sebagian besar bank-bank konvensional baik yang kecil maupun yang besar, sedangkan di lain sebagian besar bank syariah dan lembaga keuangan non bank syariah tetap tegar dan sedikit sekali terkena dampak krisis ekonomi dan moneter.[34] Hal itu terjadi sebab perbankan syariah menerapkan sistim bagi hasil/ tidak dengan bunga yang terbebas dari negative spread. Terbukti banyak perbankan konvensional yang tangguh ternyata dapat dilikuidasi.
b. Dengan mempelajari sejarah pemikiran dan perkembangan ekonomi di dalam masyarakat Islam sejak zaman Rasulullah, khulafa’ al-Rasyidin, dan daulah-daulah Islam sesudahnya, kita dapat menemukan adanya karakter sistem ekonomi yang khas dan berbeda dari sistem ekonomi yang lain. Al-hasil dapat membangkitkan kembali ekonomi Islam yang dapat membawa kemakmuran yang berkeadilan baik dinegara yang mayoritas penduduknya beragama Islam maupun yang tidak.
c. Hendaknya krisis sektor perbankan yang kita alami beberapa waktu lalu, hendaknya dijadikan sebagai bukti bahwa akan pentingnya pengaturan dan pengawasan perbankan, di samping penerapan pola sistem syariah (profit and loss sharing).
d. Berdirinya perbankan syariah di Indonesia kini tampak semakin booming, oleh karena itu bank syariah hendaknya memberikan terobosan baru dalam upaya, meningkatkan sarana dan prasarana. Di samping itu agar perbankan Sayariah dapat dikenal luas oleh masyarakat perlu kiranya adanya kerjasama berbagai pihak; akademisi, instansi, ulama, praktisi dan cendekiawan dan lain-lainnya.
e. Perbankan syariah di Indonesia sudah seharusnya tidak lagi dibawah kepala biro tapi Direktorat. Sehingga strategi pengembangan dan prospek ekonomi syariah dalam bingkai perbankan syariah menjadi terarah.
[1]Joseph Schumpeter, History of Economic Analysis, (New York: Oxford University Press, 1954)
[2]Nejatullah Siddiqi, History of Islamic Thought Lecture on Islamic Economics, (Jeddah: IDB-IRTI,1992)
[3]Sami Homoud, Islamic Banking, (London: Arabian Information Ltd, 1985)
[4]Sayyid Bagir as-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam, (Jakarta: Pustaka Zahrah, 2002), h. 73-85
[5] Masudul Alam Choudhury, Contribution to Islamic Eeconomic Theory, (New York: Marten Press, 1986), h. 8-9
[6]M. Nejatullah Siddiqi, Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: LIPPM-Media dakwah, tt), h. 27-30
[7]Afzalurrahman, Doktrein Ekonomi Islam 1, (Yogyakarta: Dana Bahki Wakaf.1999), h. 1-10
[8] http://www.tazkia online.com/, Ikhwan Abidin Basri, “Perbankan Syariah dan Masyarakat Muslim Dhuafa”, Saturday, 15 March 2003
[9]http://www.tazkiaonline.com/, Harisman ,”Pesngawasan dan Pembinaan Bank Syariah di Indonesia (1)”, Monday, 21 October 2002
[10] http://www. Republika Online.com/, Zainul Arifin, “Prinsip Operasional Bank Syariah” Thursday, 06 December 2001
[11] Zainul Ariifin, Memahami Bank syariah Lingkup, Peluang, Tantangn dan Prospek, (Jakarta: Alvabet, 1999), h.133
[12] http://www.tazkiaonline.come/, Zainul Arifin “Manajemen Permodalan Bank Syariah” , Thursday, 22 February 2001
[13]. Darut Tauhid, http://www.klikdt.com, Iskandar Mirza, “Sejarah dan Aktualisasi Ekonomi Syariah”, Thursday, 31 October 2002
[14] http://www.tazkiaonline.com/, Zainul Arifin, “Tantangan Ekonomi Syariah 2003”,Friday, 25 April 2003
[15] Republika Online
[16] Republika Online
[17] Republika Online http://www.republika.co.id, Bank Muamalat Perkuat Modal Friday, 02 May 2003
[18] Muhammad Zen, Optimalisasi Manajemen Bank Muamalat Dalam Menghadapi Krisis Ekonomi dan Moneter (Studi Kasus Produk Mudharabah). (Jakarta: UIN Jakarta Skripsi, 2001), h. 40-70
[19] http://tazkiaonline.com/
[20] Republika Online http://www.republika.co.id, “Potensi Pasar Bank Syariah Masih Besar”, Tuesday, 29 April 2003
[21] Ibid
[22] Republika Online http://www.republika.co.id, “Tentang Eksistenti UU Perbankan Syari-ah, Mayoritas Peserta Dukung Terpisah”, Tuesday, 15 October 2002
[23]Republika Online
[24]Republika Online http: //www.republika.co.id, “Kinerja Keuangan Bank Syariah lebih baik”, Wednesday, 09 April 2003
[25]Ibid
[26] http://www.tazkiaonline.com/, Zainul Arifin, “Manajemen Permodalan Bank Syariah (1)” Mon-day, 26 February 2001
[27] http://www.tazkiaonline.com/, A. Muid Badrun, “Pengembangan Perbankan Syariah Berbasis Mutu”, Friday, 26 April 2002
[28] http://www.tazkiaonline.com/, Harisman ,”Pengawasan dan Pembinaan Bank Syariah di Indonesia (1)”, Monday, 21 October 2002
[29]http://www.tazkiaonline.com/, Harisman, “Pelaksanaan Pengawasan Perbankan Syariah di Indonesia (2)”, Monday, 28 October 2002
[30] http://www.tazkia online.com/, Ikhwan Abidin Basri, “Perbankan Syariah dan Masyarakat Muslim Dhuafa”, Saturday, 15 March 2003
[31]Republika Online http://www.republika.co.id, Irfan Syauqi Beik, “Celah Baru Ekonomi Islam” Friday, 09 May 2003
[32] Faisal Afifi, Melacak Pemikiran Strategik ( Pemecahan Masalah Di Indonesia), Jakarta; Paramadina, 2003, hlm 84
[33] Ibid., hal 85
[34]Karnaen Perwataatmadja, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Makalah Program Pascasarjana, tidak diterbitkan), h. 2