HUKUM JUAL BELI harga 12.000 HP DAN ELEKTRONIK
HUKUM JUAL BELI harga 12.000 HP DAN ELEKTRONIK
LAINNYA? SEHARUSNYA 3 JUTA apakah
termasuk JUDI? Untuk mekanisme dan persyaratan membeli barangnya dapat dilihat
dalam website ini https://www.bukalapak.com/promo-detail/serbu-seru-harbolnas
Amirudin
Bogor
JAWABAN
1.
Hukum jual beli dibawah harga standar, seperti 12.000 dapat membeli
mobil, hp, dan elektronik lainnya.
Berdagang
merupakan salah satu cara untuk mencari nafkah dan cara cepat kaya menurut
islam. Dahulu Rasulullah SAW. juga menempuh jalan berdagang sebagai mata
pencaharian, berdagang juga merupakan salah satu contoh perekonomian dalam
islam yang dianjurkan. Hanya saja jual beli zaman sekarang mengalami
perkembangan secara online. Dalam transaksi jual beli awal prinsipnya semua
adalah hukumnya boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya. Kehalalan bisnis
online sesuai Fatwa DSN:
28/DSN-MUI/III/2002 dan fatwa mui nomor :
24 tahun 2017 tentang hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial
menjelaskan kebolehan berjual beli atau bermuamalah secara online melalui media
sosial.
Dalam ajaran Islam menentukan harga
barang tidak diatur, justru yang ada sesuai dengan mekanisme pasar/invisible
hand/ Allah yang menentukan
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ النَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
غَلاَ السِّعْرُ فَسَعِّرْ لَنَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ وَإِنِّى
لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يُطَالِبُنِى
بِمَظْلَمَةٍ فِى دَمٍ وَلاَ مَالٍ ». رواه أبو داود
Dari sahabat Anas, ia
menuturkan, “Para
sahabat mengeluh kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya harga barang kebutuhan
sekarang ini begitu mahal. Alangkah baiknya bila Anda membuat menentukan
harga.’ Menanggapai permintaan sahabatnya ini, Rasulullah bersabda,
‘Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga, serta mengencangkan,
melapangkan, dan memberi rezeki. Dan sesungguhnya, aku berharap untuk menghadap
Allah tanpa ada seorang pun yang menuntutku karena suatu kezaliman, baik dalam
urusan darah (jiwa) atau pun harta.’” (HR. Abu Daud)
Yang dilarang dalam jual beli adalah praktek
ribawi dan unsur penimbunan barang, sebab dapat menyebabkan langka barang, dan
harga naik. NABI Saw melarang jual beli
dibawah harga pasaran karena dapat merusak harga pasar dan mendhalimi para
pedagang lainnya. Titik persoalannya adalah ternyata Rasulullah ﷺ juga melarang jual beli di bawah harga
pasar atau lebih tinggi dari harga pasar sebab dapat merusak pasaran produk
tetangga yang sama-sama pedagang. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Thawus dari Ibnu Abbas radliyallaahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
لا تلقوا الركبان ولا يبع حاضرلباد، قلت لابن عباس:
ماقوله: ولا يبع حا ضر لباد؟ قال لا يكون له سمسارا متفق عليه واللفظ للبخارى
Artinya:
“Janganlah kamu menjemput (mencegat) para pedagang yang membawa barang-barang
dagangan mereka sebelum diketahui harga pasaran, dan janganlah orang kota
menjual barang buat orang desa. Aku bertanya kepada Ibnu Abas: apa yang
dimaksut dari sabda rasul bahwa orang kota tidak boleh menjual dagangannya
dengan orang desa itu ? jawab ibnu abas: maksudnya janganlah orang kota menjadi
makelar orang desa” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibnu
Qudamah menyampaikan:
التسعير سبب الغلاء، لأن الجالبين إذا بلغهم ذلك لم
يقدموا بسلعهم بلداً يكرهون على بيعها فيه بغير ما يريدون، ومن عنده البضاعة يمتنع
من بيعها ويكتمها، ويطلبها أهل الحاجة إليها فلا يجدونها إلا قليلاً، فيرفعون في
ثمنها ليصلوا إليها، فتغلو الأسعار ويحصل الإضرار بالجانبين: جانب المُلاك، في
منعهم من بيع أملاكهم، وجانب المشتري في منعه من الوصول إلى غرضه، فيكون حراماً
Artinya:
"Tas'îr merupakan salah satu penyebab timbulnya inflasi harga,
karena tabiat para pelaku jual beli jalab (talaqqy rukban) – makelar –
biasanya, ketika sampai kepada mereka (berita harga di pasaran), maka mereka
tidak akan mendatangkan dagangan mereka ke negara yang mereka benci jual beli
didalamnya sebab tidak sesuai dengan harapannya. Bagi pemilik barang, mereka
melakukan penahanan barang, menimbunnya, sementara konsumen banyak yang sedang
mencari barang, dan mereka tidak menemukannya di pasaran kecuali dalam jumlah
minim. Akibatnya, mereka terpaksa menaikkan harga untuk mendapatkannya.
Akhirnya terjadilah kenaikan harga, yang berakibat merugikan kedua pihak yang
sedang bertransaksi, yakni: di satu sisi, pihak pemilik barang dirugikan
sebagai konsekuensi penahanan barang miliknya, dan di sisi yang lain pembeli,
sebagai konsekuensi tertahannya ia dari mendapatkan barang yang dibutuhkan.
Maka dari itulah, tas’îr hukumnya adalah haram.” (Ibnu Qudâmah
al-Maqdisy, Al Mughny Syarah Matn al-Kharâqy, Kairo:Thab’ah
Maktabah al-Qâhirah, 1970: 4/240).
Intinya,
Islam tidak menentukan harga. Namun bila pebisnis memurahkan harga dengan
maksud membahayakan orang lain/pebisnis lain, maka adalah haram. Rasulullah Saw
bersabda,
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak
ada bahaya bagi diri sendiri, dan tidak ada pembahayaan bagi orang lain.”
Benarkah bahwa penentuan harga
dibawah harga haram? Yang ada dalilnya
tidak boleh transaksi bai al-inah/ jual beli dua akad dan bersyarat. Mari
kita teliti terlebih dahulu dengan menyimak penjelasan ulama tentang bunyi
tekstual hadits yang menjelaskan larangan penggabungan dua akad adalah hadits
yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Umar RA berikut ini:
أن
النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن ربح ما لم يضمن ، وعن بيع ما لم يقبض ، وعن
بيعتين في بيعة ، وعن شرطين في بيع وعن بيع وسلف } أخرجه أبو داود والترمذي وقال
حديث حسن صحيح وفي لفظ { لا يحل بيع وسلف } ولأنه اشترط عقدا في عقد فاسد كبيعتين
في بيعة ، ولأنه إذا اشترط القرض زاد في الثمن لأجله فتصير الزيادة في الثمن عوضا
عن القرض وربحا له وذلك ربا محرم ففسد كما لو صرح به
Artinya: “Sungguh, Nabi SAW telah melarang mengambil laba selagi tidak dijamin, jual beli selagi belum diterima, dua akad jual beli dalam satu transaksi pembelian, dua syarat dalam transaksi pembelian dan dari menggabungkan jual beli dan hutang. Hadits ditakhrij oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi dengan kategori hasan shahih. Dalam lafal hadits yang lain disebutkan, “Tidak halal, transaksi jual beli dan memesan.” (Mengapa demikian?) Karena dalam akad seperti ini, pihak penjual seolah mensyaratkan suatu akad dalam rupa akad lain yang fasid, seolah seperti dua jual beli dalam satu transaksi. Dalam transaksi model seperti ini, adanya qardlu (hutang piutang) dapat dijadikan alasan oleh penjual untuk menaikkan harga sehingga menjadi harga baru sebagai ‘iwadl (upah) dari qardlu dan laba. Tak syak lagi, ia adalah riba yang diharamkan sehingga fasad (rusak) sebagaimana mushannif telah jelaskan,” (Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Daru Ihyait Turats Al-‘Araby, 1985, juz IV, halaman 162).
Kalau pebisnis
online menetapkan harga menjual barang elektronik seharga di atas 5 juta s.d 2 Milyar
hanya dibayar Rp. 12.000 dia mengerjakannya dengan maksud ini maka itu adalah
haram, sebab dapat merugikan bisnisnya sendiri dengan mengeluarkannya ratusan
juta atau milyaran rupiah. Namun kalau ia melakukannya dan tidak memaksudkan
sesuatu tertentu, ia hanya ingin banyak pembeli yang berkunjung ke tokonya
sebagai ajang promosi dan untuk membersihkan barang yang ada di gudangnya
–misalnya- dan menutup perdagangannya, maka kadang orang yang seperti ini
terpaksa untuk menurunkan barangnya sehingga barangnya laku kemudian dia
menutup (tokonya). Kita tidak berkata di sini bahwa ia telah melakukan suatu
hal yang diharamkan, bahkan pembahayaan tidak terjadi. Apabila dia membahayakan
yang lainnya, maka jadilah hal tersebut sebagai perkara yang haram.
2.
Apakah membeli harga tersebut termasuk judi?
Judi
adalah perbuatan setan, maka orang yang melakukan judi sesungguhnya dia sedang
berusaha untuk menjadi sosok makhluk terkutuk tersebut . ( الميسر) dalam etimologi bahasa Arab adalah kata
mashdar mimi dari kata (يسر) .
kata al-maisir
(perjudian) dari sisi bahasa mencakup dua hal:
1. Ia adalah usaha mendapatkan harta tanpa susah payah.
2. Ia adalah cara mendapatkan harta dan sebab menjadi kaya (berkecukupan).
1. Ia adalah usaha mendapatkan harta tanpa susah payah.
2. Ia adalah cara mendapatkan harta dan sebab menjadi kaya (berkecukupan).
Sedangkan
dalam terminologi ulama, ada beberapa ungkapan:
Yaitu, semua muamalah yang dilakukan manusia dalam
keadaan tidak jelas akan beruntung atau merugi sekali (spekulatif). Kalau
begitu, al-maisir (perjudian) mencakup semua muamalah yang terjadi dengan
ketidakjelasan apakah untung atau buntung. Sehingga, ketentuan dasar al-maisir
(perjudian) adalah semua muamalah yang membuat orang yang melakukannya berada
dalam ketidakjelasan antara untung dan rugi, yang bersumber dari al-gharar
serta spekulasinya, dan hal itu menjadi sebab terjadinya permusuhan dan
kebencian di antara manusia.
Untuk lebih
jelasnya pengertian judi ini berbeda-beda, namun semuanya bermakna satu.
• Ibnu Sirin mendefinisikan tentang judi sebagai :
كُلُّ لَعْبٍ فِيْهِ قِمَارٌ مِنْ شُرْبٍ أَوْ صِيَاحٍ أَوْ قِيَامٍ فَهُوَ مِنَ المَيْسِرِ
Semua permainan yang di dalamnya ada qimar, minum, teriak dan berdiri, termasuk judi
(Tafsir At Thabrani jilid 3 hal 285)
• As-Sa’di menyebutkan bahwa definisi judi (maysir) adalah :
كُلُّ المُغَالَباَتِ الَّتِي يَكُونُ فِيْهَا عِوَضٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ
Segala hal yang terkait dengan menang-kalah yang disyaratkan adanya harta pertaruhan dari kedua belah pihak
(Taysirul Karim Al-Mannan fi Tafsiri Kalamirrahman hal 98)
• Al-Qaradawi mendefinisikan judi sebagai :
كُلُّ ماَ لاَ يَخْلُوا اللاَّعِبُ فِيْهِ مِنْ رِبْحٍ أَوْ خَسَارَةٍ
Segala permainan dimana para pemainnnya akan menang atau kalah (merugi).
(Al Halal wal Haram hal 273)
• Ibnu Sirin mendefinisikan tentang judi sebagai :
كُلُّ لَعْبٍ فِيْهِ قِمَارٌ مِنْ شُرْبٍ أَوْ صِيَاحٍ أَوْ قِيَامٍ فَهُوَ مِنَ المَيْسِرِ
Semua permainan yang di dalamnya ada qimar, minum, teriak dan berdiri, termasuk judi
(Tafsir At Thabrani jilid 3 hal 285)
• As-Sa’di menyebutkan bahwa definisi judi (maysir) adalah :
كُلُّ المُغَالَباَتِ الَّتِي يَكُونُ فِيْهَا عِوَضٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ
Segala hal yang terkait dengan menang-kalah yang disyaratkan adanya harta pertaruhan dari kedua belah pihak
(Taysirul Karim Al-Mannan fi Tafsiri Kalamirrahman hal 98)
• Al-Qaradawi mendefinisikan judi sebagai :
كُلُّ ماَ لاَ يَخْلُوا اللاَّعِبُ فِيْهِ مِنْ رِبْحٍ أَوْ خَسَارَةٍ
Segala permainan dimana para pemainnnya akan menang atau kalah (merugi).
(Al Halal wal Haram hal 273)
Sa’id
bin Al Musayyib rahimahullahu menyatakan,
كَانَ
مِنْ مَيْسِرِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ بَيْعُ الْحَيَوَانِ فِي اللَّحْمِ
وَبِالشَّاةِ وَالشَّاتَيْنِ
“Di antara perjudian ahli jahiliyah adalah menjual hewan hidup
dengan daging serta dengan satu dan dua kambing.” (Diriwayatkan
oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’)
Ibnul
Qayyim rahimahullahu-–mengikuti pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah–,
menyatakan,
اَلسَّلَفُ
كَانُوْا يُعَبِّرُوْنَ بِالَمَيْسِرِ عَنْ كُلِّ مَا فِيْهِ مُخَاطَرَةٍ
مُحَرَّمَةٍ، وَلَمْ يَشْتَرِطُوا الْمَالَ فِي الْمَيْسِرِ
Para salaf dahulu, mengungkapkan semua yang ada mukhatharah
(spekulasi) yang diharamkan dengan ungkapan al-maisir (perjudian), dan mereka
tidak mensyaratkan adanya harta dalam al-maisir (perjudian).
Kalau
begitu, setiap muamalah termasuk jual beli yang berkisar pada ketidakjelasan,
apakah untung/dapat atau buntung (rugi) dinamakan al-maisir (perjudian).
Berdasarkan
aturan mekanisme dalam sebuah pebisnis online harga Rp. 12.000 diberlakukan
karena harbolnas waktu tertentu dan hanya bagi yang beruntung saja harga itu
diberikan, kalau tidak beruntung uangnya dapat kembali lagi seharga Rp. 12.000 kepada
pembeli yang belum beruntung. Melihat kaca mata ini maka tidak masuk dalam
maisyir atau judi. Sebab, al-maisir (perjudian) sudah jelas terlarang dalam
syariat Islam, dengan dasar al-Quran dan as-Sunnah
Dalam
al-Quran, terdapat firman Allah subhanahu wa Ta’ala,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ
وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.” (Qs. al-Ma’idah: 90)
Dari
as-Sunnah, terdapat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shahih
al-Bukhari,
مَنْ
قَالَ لِصَاحِبِهِ : تَعَال أُقَامِرُكَ فَلْيَتَصَدَّقْ
“Barangsiapa yang menyatakan kepada saudaranya, ‘Mari, aku
bertaruh denganmu.’ maka hendaklah dia bersedekah.” (Hr.
Bukhari dan Muslim)
Dalam
hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ajakan bertaruh–baik
dalam pertaruhan atau muamalah–sebagai sebab membayar kafarat dengan sedekah,
Ini menunjukkan keharaman pertaruhan.
Al-hasil,
pada prinsipnya bermualah itu boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkannya,
jika harga barang yang dijual Rp.
12.000 sebagai bentuk promosi dan hadiah kepada konsumen dan tidak memungut biaya
lain tidak masuk judi dan tidak ada yang terzalimi. Hadiah dari para penjual
barang tidak termasuk judi jika uang 12.000 dikembalikan karena bukan yang
beruntung. Kajian kasus seperti ini perlu dibahas lebih lanjut oleh MUI dan lembaga
yang berwenang. Waallahu a’lam.
Hormat
kami,
MUHAMAD
ZEN, MA